MAKALAH PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PRESPEKTIF ISLAM DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
MAKALAH
PEKAWINAN BEDA AGAMA
DALAM PERSPEKTIF FIQIH DAN UNDANG-UNDANG
DI INDONESIA
A.
Pendahuluan
Kondisi
masyarakat Indonesia yang beragam suku, ras dan agama terdapat berbagai
macam masalah yang timbul didalamnya.
Salah satu masalah yang menjadi sorotan
adalah adanya perkawinan beda agama. Suatu perbedaan agama dalam perkawinan
dapat menimbulkan suatu perbedaan prinsipil yang dikhawatirkan akan menimbulkan
masalah-masalah pada kehidupan rumah tangganya kelak.
Hukum perkawinan
beda agama dalam prespektif fiqih dan UU
di Indonesia. Perkawinan beda agama ini
menuai kontroversi banyak kalangan. Islam menentang keras perkawinana beda
agama. Larangan ini dapat kita jumpai dalam sumber hukum islam yang implisit
maupun eksplisit. Namun dalam islam juga ada pertentangan mengenai penafsiran
sumber-sumber hukum perkawinan beda agama. Ada madzhab yang memberikan sedikit
kelonggaran dalam pelaksanaan
perkawinan beda agama dengan kondisi-kondisi yang sudah ditentukan sebelumnya.
Sementara madzhab lain menetang dengan tegas segala bentuk perkawinan beda
agama.
Dengan adanya
problem tersebut, penulis akan mengulas lebih dalam tentang hukum perkawinan
beda agama di Indonesia, hal ini disebabkan karena mayoritas penduduk di
Indonesia, sehingga sudah barang tentu hukum islam diperhitungkan sebagai salah
satu system hukum yang banyak hidup di tengah-masyarakat Indonesia. Dengan
demikian, hukum islam dapat menjadi
salah satu tolak ukur dalam menilai masalah perkawinan dalam menilai masalah
perkawinan beda agama.
B.
Perkawinan Beda Agama dalam
Undang-Undang Perkawinan
Perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974
pasal 1 ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa (Sosroatmojo, 1978:83).
Pasal 2 Ayat 1 (UUP) berbunyi, “perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.” Dalam penjelasan UUP ditegaskan “Dengan perumusan Pasal 2
Ayat 1 ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945” (Sosroatmojo,
1978:83)
Sedangkan
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 40 yang diberlakukan berdasarkan
instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 disebutkan bahwa “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seseorang pria dan wanita
karena wanita tersebut tidak beragama Islam”. Larangan perkawinan antara
agama sebagaimana hal ini didasarkan kepada mashlahah dengan tujuan untuk memelihara agama, jiwa,
harta, kehormatan, serta keturunan. Para ulama Indonesia sepakat untuk melarang
perkawinan beda agama karena kemudharatannya lebih besar daripada manfaat yang
ditimbulkannya.
Di kalangan para ahli hukum, ada 3
pandangan tentang perkawinan beda agama (Sukarja, 1994:17).
1.
Paham pertama
berpendapat bahwa perkawinan antar agama merupakan pelanggaran terhadap UU
Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 8 huruf f. Pasal 8 huruf f
berbunyi, “Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.”
2.
Paham kedua
berpendapat bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan,
karena telah tercakup dalam perkawinan campuran. Pasal 57 tidak saja mengatur
perkawinan antara perkawinan beda kewarganegaraan, tetapi juga antara dua orang
yang berbeda agama. Dan pelaksanaannya dilakukan menurut Pasal 6 Peraturan
Perkawinan Campuran (GHR).
3.
Paham ketiga
berkeyakinan bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No.
1 Tahun 1974.
C.
Perkawinan Beda Agama dalam
Islam
Nikah
menurut bahasa adalah kumpul, bersetubuh dan ikatan(Al-Bajuri, 90). Sedangkan menurut syara’ nikah
adalah akad yang membolehkan bersetubuh dengan kata menikahkan ( انكاح) atau
menjodohkan (تزويج) yang memuat atas rukun-rukun dan
syarat-syarat (Al-Bajuri, 91).
Rukun Perkawinan dalam Islam, Yaitu :
Adanya
calon suami (pengantin laki-laki), calon isteri
(pengantin perempuan), wali, dua orang saksi laki-laki, mahar, ijab dan
Kabul (akad nikah) (Abidin, 1999:64) yang memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
Syarat
Calon Suami, yaitu (As’ad, 34):
1.
Islam
2.
Lelaki yang tertentu
3.
Bukan lelaki mahram dengan calon isteri
4.
Mengetahui wali yang sebenarnya bagi akad nikah
tersebut
5.
Bukan dalam ihram haji atau umrah
6.
Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
7.
Tidak mempunyai empat orang isteri yang sah
dalam satu masa
8.
Mengetahui bahwa perempuan yang hendak dinikahi
adalah sah dijadikan isteri
Syarat
calon isteri, yaitu (As’ad, 22):
1.
Islam
2.
Perempuan yang tertentu
3.
Bukan perempuan mahram dengan calon suami
4.
Bukan seorang khunsa
5.
Bukan dalam ihram haji atau umrah
6.
Tidak dalam masa iddah
7.
Bukan isteri orang
Syarat
Wali Nikah, (As’ad, 43) yaitu:
1.
Islam, bukan kafir dan murtad
2.
Laki-laki
3.
Baligh
4.
Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
5.
Bukan dalam ihram haji atau umrah
6.
Tidak fasik
7.
Tidak cacat akal fikiran,gila, terlalu tua dan
sebagainya
8.
Merdeka
9.
Tidak ditahan kuasanya daripada membelanjakan
hartanya
Syarat saksi nikah, yaitu (As’ad, 35):
1.
Sekurang-kurangya dua orang
2.
Islam
3.
Berakal
4.
Baligh
5.
Laki-laki
6.
Memahami isi lafal ijab dan qobul
7.
Dapat mendengar, melihat dan berbicara
8.
Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak
terlalu banyak melakukan dosa-dosa kecil)
9.
Merdeka
Syarat ijab, yaitu (Abidin, 1999:73):
1.
Perkawinan nikah ini hendaklah tepat
2.
Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran
3.
Diucapkan oleh wali atau wakilnya
4.
Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti
mutaah (nikah kontrak atau perkawinan yang sah dalam tempo tertentu seperti
yang dijanjikan dalam persetujuan nikah mutaah)
5.
Tidak secara taklik (tidak ada sebutan prasyarat
sewaktu ijab dilafalkan)
Syarat qobul, yaitu (As’ad, 14):
1.
Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab
2.
Tidak ada perkataan sindiran
3.
Dilafalkan oleh calon suami atau wakilnya (atas
sebab-sebab tertentu)
4.
Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti
mutaah(seperti nikah kontrak)
5.
Tidak secara taklik (tidak ada sebutan prasyarat
sewaktu qobul dilafalkan)
6.
Menyebut nama calon istri
7.
Tidak ditambahkan dengan perkataan lain
Sebagaimana uraian hukum di atas, semua
pihak yang terlibat dalam terjadinya sebuah perkawinan secara Islam haruslah
orang yang beragama Islam (muslim). Akan tetapi, bagaimana apabila salah satu pihak
adalah non-muslim, baik karena asalnya merupakan pemeluk keyakinan non-Islam
maupun karena Murtad (keluar dari Agama Islam)?
Dalam Islam,
orang-orang non muslim terbagi menjadi beberapa golongan(Sukarja, 1994:3):
1.
Golongan
yang tidak berkitab samawi. Mereka adalah penyembah berhala (Musyrik) dan kaum
murtad (keluar dari Islam).
2.
Golongan
yang mempunyai semacam kitab samawi. Yaitu orang-orang Majusi yangmenyembah
api.
3.
Golongan
yang beriman kepada kitab suci. Yaitu orang yahudi yang percaya kepada kitab
Taurat dan Nasrani yang percaya kepada kitab Taurat dan Injil.
Secara
normatif, khususnya dikalangan sebagian umat Islam perkawinan beda agama adalah
hal yang tidak sepenuhnya dilarang, masih dibolehkan dengan persyaratan yang
ketat (Yasin, 2008:251).
1.
Perkawinan
wanita Islam dengan laki-laki bukan Islam.
Haram
hukumnya perempuan muslimah menikah dengan laki-laki non muslim, baik itu ahli
kitab atau yang lain (Qardhawi, 2007:263). Sebagaimana Firman Allah:
....وَلَا تُنْكِحُوْا المُشْرِ كِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنُوْاۗ ....
Artinya:“….Dan
janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang
beriman) sebelum mereka beriman….” (Al Baqarah: 221)
Bagi suami istri yang
pada mulanya beragama Islam, namun sang suami murtad maka pernikahan mereka
hukumnya fasakh. Tetapi apabila pada masa sebelum habis iddah sang istri masuk
islam, maka perkawinan dapat berjalan terus (As’ad, 33). Sebagai dasar hukum
tersebut adalah Q.S. Al-Mumtahanah ayat 10, yaitu
فَإِنْ
عَلِمْتُمُوْ هُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوْ هُنَّ إِلَى الْكُفَّا رِ لَا
هُنَّ حِلُّ لَهُمْ وَلَا هُمْ
يَحِلُّوْنَ لَهُنَّ
Artinya:“kalau kalian mengetahui bahwa
mereka itu mukminah, maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada orang-orang
kafir. Perempuan-perempuan mukminah itu tidak halal bagi mereka dan mereka juga
tidak halal bagi perempuan mukminah.” (Al-Mumtahanah: 10)
2.
Perkawinan
laki-laki Islam dengan wanita bukan Islam.
a.
Dengan wanita
musyrik dan wanita murtad
Laki-laki islam dilarang kawin
dengan wanita musyrik. Hukum perkawinan laki-laki muslim dengan wanita musyrik
adalah haram (Sukarja, 1994:9). Dasar hukumnya adalah Q.S. Al-Baqarah: 221
وَلَا
تَنْكِحُوْا المُشْرِ كَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ ....
Artinya:“Dan janganlah kamu nikahi
perempuan musyrik, sebelum mereka beriman…..”
Jika seorang
wanita yang dinikahinya murtad, maka pernikahannya dihukumi fasakh. Tetapi
apabila seorang wanita tersebut masuk islam pada masa iddahnya, maka perkawinan
tersebut dapat terus berjalan (As’ad, 32).
b. Dengan
wanita ahlul kitab
Terdapat
beberapa pendapat hukum menikahi wanita ahlul kitab. Hukum halal tapi makruh
sebagaimana tertera dalam Terjemah Kitab Fathul Mu’in (As’ad, 32).
Maka adalah
halal tapi makruh, menikahi wanita Israiliyyah, dengan syarat tidak ada
diketahui bahwa nenek moyang awal kenasabannya masuk agama itu (agama Yahudi
dan Nasrani) setelah terutusnya Nabi Isa as., sekalipun diketahui terjadinya
pengrubahan kitab Taurat. Juga halal tapi makruh menikahi wanita kitabiyah
selain Israiliyah dengan syarat diketahuinya bahwa nenek moyang awal
kenasabannya memasuki agama tersebut sebelum terutusnya Nabi Isa as., sekalipun
setelah terjadi pengubahan Kitab jika mereka menyingkiri perubahan yang palsu
itu.
Menurut Yusuf
Qardhawi dalambukunya Halal Haram dalam Islam (2007:263) laki-laki islam
diperbolehkan menikah dengan perempuan non-Islam tetapi harus dari kalangan
ahlul kitab. Menururt Yusuf pembolehan perkawinan tersebut karena laki-laki
adalah pemimpin rumah tangga, berkuasa terhadap istrinya dan bertanggung jawab
terhadap dirinya. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Maidah ayat 5
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ
الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌِ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ
حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
Artinya:“Pada hari ini
dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi
Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan
dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS. Al-Maidah:5)
D.
Penutup
1.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan, kita dapat mengetahui
bahwa perkawinan beda agama terutama dari pandangan fikih adalah dilarang
walaupun dengan berbagai penafsiran-penafsiran yang lebih liberal ada yang
membolehkan perkawinan beda agama, baik itu laki-laki muslim kepada wanita
musyrik ataupun sebaliknya. Dalam perspektif hukum Islam sedikitnya ada tiga
ketentuan perkawinan beda agama itu, pertama pelarangan kepada semua kaum
muslimin baik laki-laki atau perempuan untuk tidak menikahi calon pasangannya
sebelum mereka sama-sama beriman. Kedua, berisi larangan menikahkan
wanita-wanita muslim kepada laki-laki yang tidak seiman atau kafir, terakhir
ialah membolehkan menikahi perempuan ahli kitab.
Sedangkan UU Perkawinan yang karena
mengandung pluralitas hukum sesuai dengan undang-undang dasar membolehkan
perkawinan beda agama yang dalam UU Perkawinan disebut “perkawinan campuran”
dengan ketentuan perkawinan dilakukan sesuai dengan adat/tata kebiasaan hukum
agama suaminya. Selanjutnya secara tegas KHI pasal 40 dengan tegas menolak
perkawinan beda agama dalam segala bentuknya, dengan alasan untuk memelihara
apa yang biasa disebut maqashid
al-syari’ah (tujuan hukum Islam).
2.
Saran
Dengan
adanya penjelasan mengenai perkawinan beda agama di atas, maka diharapkan
pemerintah mempertegas peraturan UU Perkawinan tentang perkawinan beda agama,
agar tidak menimbulkan konflik hukum terhadap pelaku perkawinan tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Abidin,
Slamet, & Aminuddin. 1999. Fikih
Munakahat 1. Bandung: CV Pustaka Setia
Al-Bajuri, Ibrahim. Bajuri. juz 2. Semarang: Annur.
As’ad, Aliy. Terjemah Fathul Mu’in. Kudus: Menera Kudus
Kompilasi
Hukum Islam. Bandung: CV Nuansa Aulia.
Qardhawi, Yusuf. 2000. Halal Haram dalam Islam. Solo: Era
Intermedia.
Sosroatmojo,
Arso & Wasit Aulawi. 1978. Hukum
Perkawinan Di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang.
Sukarja,
Ahmad. Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Islam. Dalam Chuzaimah T. Yanggo dan
Hafiz Anshary (Eds.), Problematika Hukum
Islam Kontemporer (hlm. 1-26). Pustaka Firdaus.
Yasin, Nur. 2008. Hukum Perkawinan Islam Sasak. Malang: UIN Malang Press.
0 comments