MAKALAH FIQH MUNAKAHAT
KHITBAH dan MAHAR
Oleh
:
2.
Lia
wardah nadhifah NIM: 21113029
PROGRAM STUDI S1 AHWAL AL SYAKHSHIYYAH
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2014
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat
Allah Swt. yang telah memberikan kepada kita rahmat, hidayah, serta inayah-Nya
sehingga kita dapat menyelesaikan makalah ini tanpa suatu halangan apapun.
Salawat serta salam tak lupa selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi Agung
Muhammad Saw. Yang kita nanti-natikan syafa’atnya di Yaumul Qiyamah nanti.
Ucapan terimakasih yang mendalam kita haturkan kepada Bapak Drs. Badwan, M.Ag.
yang telah memberikan kesempatan untuk kita menyusun makalah ini.
Makalah ini kami susun
dengan tema Khitbah, yaitu salah satu hal yang kita kenal dalam pernikahan.
Makalah ini akan membahas tentang khitbah secara rinci dari berberapa referensi
yang kami peroleh. Makalah ini juga kami susun dengan bahasa yang sederhana
agar mudah dipahami oleh pembaca.
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I
PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A.
Latar Belakang Masalah....................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah ................................................................................ 1
C.
Tujuan Penulisan
.................................................................................. 1
BAB
II PEMBAHASAN ............................................................................... 2
KHITBAH................................................................................................ 2
MAHAR........................................................................................................... 10
BAB
III KESIMPULAN ............................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kita ketahui bahwa ketentuan hidup
berpasang-pasangan merupakan pembawaan naluriah manusia dan makhluk hidup
lainnya bahkan segala sesuatu yang diciptakan Allah Swt. berjodoh-jodoh. Hal itu merupakan
salah satu dari penyebab Islam menganjurkan kita untuk melakukan perkawinan.
Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, dengan jalan perkawinan yang
sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai
kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan.
Khitbah
merupakan pendahuluan transaksi nikah menurut tradisi ahli syara’. Syari’at
Islam menghendaki pelaksanaan pranikah (peminangan) untuk menyingkap kecintaan
kedua pasang manusia yang akan mengadakan transaksi nikah, agar dapat membangun
keluarga yang didasarkan pada kecintaan yang mendalam. Dari keluarga inilah
muncul masyarakat yang baik yang dapat melaksanakan syariat Allah dan
sendi-sendi ajaran agama Islam yang lurus.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi khitbah?
2. Apa sajakah hal-hal yang berkaitan dengan khitbah?
3. Apakah hikmah disyari’atkan khitbah?
C. Tujuan
Makalah
ini disusun selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Munakahat, tetapi juga
untuk memberikan informasi mengenai Khitbah secara lebih merinci.
BAB II
PEMBAHASAN
KHITBAH
A. Definisi Khitbah
Khitbah
adalah permintaan seorang laki-laki untuk menguasai seorang wanita tertentu
dari keluarganya dan bersekutu dalam kebersamaan hidup. Atau pula dapat
diartikan, seorang laki-laki menampakkan kecintaanya untuk menikahi seorang
wanita yang halal dinikahi secara syara’. Adapun pelaksanaanya beragam;
adakalanya peminang itu sendiri yang meminta langsung kepada yang bersangkutan,
atau melalui keluarga, dan atau melalui utusan seseorang yang dapat dipercaya
untuk meminta orang yang dikehendaki. [1]
Peminangan
di Indonesia, diatur dalam KHI bab 1 (ketentuan umum) pasal 1a, dan bab III
tentang peminangan pasal 11-13. Definisi peminangan dijelaskan dalam bab 1
pasal 1a yaitu kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara
seorang pria dengan seorang wanita. Penjelasan bab tiga pasal 11-13 yaitu :
·
Pasal 11 menjelaskan
peminagan dapat dilakukan oleh orang yang mencari pasangan, atau lewat orang
perantara yang dipercaya.
·
Pasal 12, ayat (1)
menjelaskan bahwa peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita perawan
atau janda yang habis masa iddahnya. ayat (2-3) menjelaskan haram meminang
wanita yang ditalak dalam masa iddah raj’iah, dan meminang wanita yang sdang
dipinang pria lain. Ayat (4) menjelaskan tentang putusnya peminangan dari pihak
laki-laki.
·
Pasal 13 ayat (1-2)
menjelaskan peminangan belum menimbulkan akibat hukum, jadi masih bebas
memutuskan pinangan tetapi harus sesuai dengan agama dan adat setempat.
B.
Hukum Khitbah
Hukum
meminang adalah boleh (mubah). Adapun dalil yang memperbolehkannaya adalah :
وَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ
فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لا
تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلا أَنْ تَقُولُوا قَوْلا مَعْرُوفًا وَلا تَعْزِمُوا
عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ
اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ حَلِيمٌ
Dan tidak ada dosa
bagi kamu meminang wanita-wanita
itu dengan sindiran,atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka)dalam
hatimu Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, oleh karena itu janganlah
kamu mengadakan janji nikah dengan mereka dengan secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan kepada mereka perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu
ber’azam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis iddahnya. Dan
ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah
kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”. . (Al-Baqoroh ayat
235).
C.
Karakteristik Khitbah
Di
antara hal yang disepakati mayoritas ulam fiqh, syariat, dan perundang-undangan
bahwa tujuan pokok khitbah adalah berjanji akan menikah, belum ada akad nikah.
Karakteristik khitbah hanya semata berjanji akan menikah. Masing-masing calon
pasangan hendaknya mengembalikan perjanjian ini didasarkan pada pilihannya
sendiri karena mereka menggunakan haknya sendiri secara murni, tidak ada hak
intervensi orang lain.
Bahkan
andaikata mereka telah sepakat, kadar mahar dan bahkan mahar itu telah
diserahkan sekaligus, atau wanita terpinang telah menerima berbagai hadiah dari
peminang atau telah menerima hadiah yang berharga. Semua itu tidak menggeser
status janji semata (khitbah) dan dilakukan karena tuntutan maslahat. Maslahat
akan terjadi dalam akad nikah manakala kedua belah pihak diberikan kebebasan
yang sempurna untuk menentukan pilihannya, karena akad nikah adalah akad yang
menentukan kehidupan mereka. Di antara maslahat, yaitu jika dalam akad nikah
didasarkan pada kelapangan dan kerelaan hati kedua belah pihak, tidak ada
tekanan dan paksaan dari manapun.
D.
Perempuan Yang Boleh Dipinang
Tidak
semua perempuan boleh dikawini laki-laki. Ada perempuan yang untuk selamanya
tidak boleh dikawini, seperti: ibu, saudara kandung, dan mertua. Ada yang
dilarang hanya untuk sementara, seperti: saudara ipar, perempuan yang sedang
dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki lain, dan wanita yang sedang menjalani
masa idah.
Oleh
karena itu, tidak semua perempuan boleh dipinang seketika. Perempuan boleh
dipinang apabila memenuhi dua syarat :
1.
Tidak terdapat
halangan-halangan syarak untuk dikawini
seketika oleh laki-laki yang meminang karena tidak ada hubungan mahram, tidak
dalam hubungan perkawinan dengan laki-laki lain atau tidak sedang menjalani
ialah talak raj’i.
2. Tidak sedang dalam peminangan laki-laki lain.
E.
Hukum Memandang Wanita Terpinang
Syariat
Islam memperbolehkan seorang laki-laki memandang wanita yang ingin dinikahi,
bahkan dianjurkan dan disunahkan karena pandangan peminang terhadap terpinang
merupakan bagian dari sarana keberlangsungan hidup pernikahan dan ketentraman.
Di antara dalil yang menunjukkan bolehnya memandang wanita karena khitbah
sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Saw. Kepada Al-Mughirah bin Syu’bah
yang telah meminang seorang wanita untuk dinikahi: “Apakah Anda telah
melihatnya” Ia menjawab: “Belum.” Beliau bersabda :
أُنْظُرْ
اِلَيْهَا فَاِنَّهُ أَحْرى يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
Lihatlah
ia,sesungguhnya penglihatan itu lebih utama untuk mempertemukan antara Anda
berdua. (maksudnya menjaga kasih sayang dan kesesuaian).
Demikian
juga hadis dari Jabir, ia berkata: Rosulullah Saw. Bersabda:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ
فَاِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا
فَلْيَفْعَلْ قَالَ فَخَطَبْتُ جَارِيَةً فَكُنْتُ أَتَخَبَّأُ لَهَا حَتَّى
رَأَيْتُ مِنْهَا مَا دَعَانِي إِلَى نِكَاحِهَا وَ تَزَوُّجِهَا فَتَزَوَّجْتُهَا
Jika
meminang salah seorang di antar kamu terhadap seorang wanita maka jika mampu
melihat apa yang menarik untuk dinikahi, kerjakanlah. Jabir berkata :”Kemudian
seorang wanita yang semula tersembunyi sehingga aku melihat apa yang menarik
bagiku untuk menikahinya, kemudian aq menikahinya.” (HR.
Abu Dawud)
Syariat Islam memperbolehkan pandangan terhadap
wanita terpinang, padahal asalnya haram memandang wanita yang lain yang bukan
mahram. Hal ini didasarkan pada kondisi darurat, yakni unsur keterpaksaan untuk
melakukan hal tersebut karena masing calon-calon pasangan memang harus
mengetahui secara jelas permasalahan orang yang akan menjadi teman hidup dan
secara khusus perilakunya. Ia akan menjadi bagian yang paling penting untuk
keberlangsungan pernikahan, yakni anak-anak dan keturunanya. Demikian juga
diperbolehkan bagi masing-masing laki-laki dan wanita memendang satu sama lain
pada sebagian kondisi selain khitbah, seperti pengobatan, menerima persaksian,
dan menyampaikan persaksian. Hal tersebut termasuk masalah pengecualian dari
hukum asal keharaman pandangan laki-laki terhadap wanita dan sebaliknya.
F.
Anggota Tubuh Terpinang Yang Boleh Dipandang
1. Mayoritas
fuqoha’ seperti Imam Malik, Asy-Syafi’I, dan Ahmad dalam salah satu pendapatnya
mengatakan bahwa anggota tubuh wanita terpinang yang boleh dilihat hanyalah
wajah dan kedua telapak tangan. Wajah
tempat menghimpun segala kecantikan dan mengungkap banyak nilai-nilai kejiwaan,
kesehatan, dan akhlak. Sedangkan kedua telapak tangan dijadikan indikator
kesuburan badan, gemuk, dan kurusnya. Adapun dalil mereka adalah firman Allah
Swt. :
وَلاَ
يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
Dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali apa yang
biasa terlihat darinya.(QS.An-Nur:31)
2.
Ulama Hanbali berpendapat bahwa batas kebolehan memandang anggota tubuh
wanita terpinang sebagaimana memandang wanita mahram, yaitu apa yang tampak
pada wanita umumnya di saat bekerja di rumah seperti wajah, kedua telapak
tangan, leher, kepala, kedua tumit kaki, dan sesamanya. Tidak boleh memandang
anggota tubuh yang pada umumnya tertutup. Adapun alasan mereka; Nabi Saw.
Tatkala memperbolehkan seorang sahabat memandang wanita tanpa sepengetahuannya.
Diketahui bahwa beliau mengizinkan memandang segala yang tampak pada umumnya.
3.
Ulama
Hanafiyah dan Hanabilah yang masyhur madzhabnya berpendapat, kadar anggota
tubuh yang diperbolehkan untuk dilihat adalah wajah, kedua telapak tangan dan
kedua kaki, tidak lebih dari itu. Memandang anggota tubuh tersebut dinilai cukup bagi
orang yang ingin mengetahui kondisi tubuhnya.
4.
Dawud Az-Zahiri berpendapat bolehnya melihat seluruh anggota tubuh
wanita terpinang yang diinginkan. Berdasarkan keumuman sabda Nabi Saw. “Lihatlah
kepadanya.” Di sini Rosulullah tidak mengkhususkan suatu bagian bukan
bagian tertentu dalam kebolehan melihat.
G.
Syarat Sah Khitbah
Pinangan (khitbah) tidak sah kecuali dua syarat, yaitu :
1.
Seorang
wanita yang baik diakadnikahi;
Wanita yang baik diakadnikahkan pada saat pinangan sehingga dapat
menyempurnakan akad nikah. Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa khitbah
berfungsi sebagai sarana (wasilah) untuk mencapai suatu tujuan, yakni nikah.
2.
Wanita yang belum terpinang.
H.
Meminang Perempuan dalam Masa Iddah
1.
Wanita Ber-iddah Talak Raj’i
Para fuqoha’ sepakat keharaman meminang dalam masa tunggu (iddah) talak
raj’i (suami boleh kembali kepada istri karena talaknya belum mencapai ketiga
kalinya) baik menggunakan bahasa yang tegas (sharih) atau bahasa sindiran
(kinayah). Sang istri yang tertalak raj’I masih
berstatus istri dan hak suami atas istri masih eksis selama masih dalam masa
iddah. Suami boleh ruju’ (kembali) tanpa minta kerelaan daripadanya kapanpun,
tidak perlu akad dan mahar baru selama masih berada dalam masa iddah.
Diharamkan bagi laki-laki lain
melakukan khitbah pada wanita dalam masa iddah karena khitbah dalam kondisi ini
berarti melawan hak suami pencerai, menodai perasaanya, dan merampas haknya
dalam mengembalikan istri tercerai ke pangkuannya karena terkadang wanita itu
mempunyai anak yang masih kecil yang kemudian bias terlantar karenanya.
2.
Wanita Ber-iddah Talak Ba’in
Tidak ada perselisihan di kalangan fuqoha’, bahwa tidak boleh meminang
wanita masa iddah talak ba’in qubro (talak ba’in besar yakni talak tiga kali
cerai) dengan kalimat yang jelas. Kecuali dengan menggunakan kalimat samara
atau sindiran, jumhur ulama memperbolehkan sekalipun ulama Hanafiyah tidak
memperbolehkan. Jumhur ulama
itu adalah ulama Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, dan Hanabilah dengan dalil nash
Al-Qur’an, sunnah, dan rasio.
Di antara Al-Qur’an yang dijadikan
dasar adalah firman Allah :
وَلاَ
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَآءِ أَوْ
أَكْنَنْتُمْ فِى أَنْفُسِكُمْ
Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan
sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. (QS. Al-Baqarah : 235)
Pada ayat diatas, kalimat tidak dosa
meminang wanita dengan kalimat sindiran memberi paham boleh (boleh hukumnya).
Kata “perempuan-perempuan” dalam ayat memberi faedah umum meliputi semua wanita
ber-iddah termasuk ber-iddah talak ba’in.
Dalil rasio (aqli) bolehnya meminang
wanita ber-iddah talak ba’in qubra, bahwa talak ini memutus hubungan pasangan suami istri karena ia menjadi haram,
sementara bagi suami pencerai tidak ada harapan kembali sebelum dinikahi
laki-laki lain.
3.
Wanita Ber-iddah Talak Ba’in Shughra
Wanita yang tertalak ba’in sughra
dimaksud adalah wanita yang telah tercerai dua kali. Wanita yang telah tercerai
dua kali seperti ini halal bagi suami rujuk kembali dengan akad nikah dan mahar
baru dan tidak dipersyaratkan seperti talak bain qubra. Mantan suami pencerai
tidak boleh menikahi kembali mantan istrinya sebelum dinikahi laki-laki lain
sampai telah bercampur benar sebagai pasangan suami istri dan masing-masing
telah mencicipi madunya.
Dalam hal ini fuqoha’ berbeda
pendapat, menurut ulama Malikiyah dan sebagian Syafi’iyah boleh meminang
sindiran terhadap wanita dalam mas iddah talak ba’in sughra dianalogikan dengan
talak bain qubra. Talak ba’in memutus hubungan suami istri, pinangan sindiran
tidak mengandung makna pinangan secara jelas. Wanita tidak akan berpegang pada
kalimat sindiran itu dan tidak membuat pengakuan bohong tentang habisnya masa
iddah.
Mayoritas fuqoha’ berpendapat
keharaman melakukan pinangan sindiran terhadap wanita tersebut. Dikarenakan
dengan bolehnya pinangan bagi selain suami pencerai, akan menimbulkan
terjadinya permusuhan antara keduanya, sementara suami pencerai berhak kembali
dengan akad dan mahar baru dan lebih utama daripada yang lain.
4.
Wanita Ber-iddah karena Khulu’ atau Fasakh
Wanita ber-iddah khulu’ (talak karena permohonan istri dengan hadiah) atau
karena fasakh nikah (ada sesuatu yang merusak keabsahan nikah) karena suami
miskin atau menghilang, tidak pernah pulang. Hukum
meminang sindiran terhadap kedua wanita tersebut terjadi perbedaan pendapat di
kalangan ulama sebagaimana meminang sindiran terhadap wanita pada masa iddah
dari talak ba’in sughra.
Fuqoha’ sepakat bahwa masing-masing
wanita tersebut tidak boleh dipinang secara jelas dari selain suami pencerai.
Bagi semua pencerai boleh saja memperjelas atau menyindir pinangan selain
wanita ber-iddah talak ba’in qubra.
5.
Wanita Ber-iddah karena Kematian Suami
Fuqoha’ sepakat tidak boleh meminang
dengan jelas kepada wanita yang masih dalam masa iddah karena kematian suami.
Hikmah adanya larangan tersebut pada umumnya dikarenakan dapat mendatangkan
berbagai bencena. Fuqoha’ juga sepakat diperbolehkannya meminang dengan
sindiran, hikmah diperbolehkannya sindiran dalam pinangan disini bahwa hubungan
antara suami dan istri telah selesai disebabkan kematian sehingga tidak ada
jalan menyatukan kembali antarmereka berdua. Oleh karena itu, tidak ada
permusuhan pada hak suami yang meninggal dalam pinangan sindiran.
I.
Pemutusan Pertunangan
Meskipun Islam mengajarkan bahwa
memenuhi janji adalah suatu kewajiban, dalam masalah janji akan kawin ini
kadang-kadang terjadi hal-hal yang dapat menjadi alasan yang sah menurut Islam
untuk memutuskan pertunangan. Misalnya, diketahui adanya cacat fisik atau
mental pada salah satu pihak beberapa waktu setelah pertunangan, yang
disarankan akan mengganggu tercapainya tujuan itu tidak dipandang melanggar
kewajiban termasuk hak khiyar.
Berbeda halnya pemutusan pertunangan
tanpa alasan yang sah menurut ajaran Islam, misalnya karena ingin mendapatkan
yang lebih baik dari segi keduniaan. Ditinjau dari segi nilai moral Islam,
pemutusan pertunangan seperti itu sama sekali tidak dapat dibenarkan.
Masalah yang sering muncul adalah
apabila dalam masa peminangan (biasanya pada waktu peminangan) pihak laki-laki
memberikan hadiah-hadiah pertunangan, atau mungkin mahar (mas kawin) telah
dibayarkan kepada pihak perempuan sebelum akad nikah dilaksanakan.
Fuqoha madzhab Hanafi berpendapat
bahwa masing-masing pihak berhak menerima pengembalian hadiah-hadiah
pertunangan yang berasal dari masing-masing , bila hadiah itu masih ada
wujudnya pada saat pertunangan diputuskan. Hadiah-hadiah yang telah tidak ada
wujudnya lagi tidak perlu diganti dengan harganya. Ketentuan itu berlaku, baik
yang memutuskan pertunangan adalah pihak laki-laki ataupun pihak perempuan.
Alasan pendapat ini ialah karena hadiah-hadiah tersebut berhubungan dengan
adanya janji akan kawin. Maka, apabila janji dimaksud dibatalkan, hadiah-hadiah
harus kembali pada asalnya.
Fuqoha madzhab Syafii berpendapat
bahwa pihak peminang berhak menerima kembali hadiah-hadiah yang diberikan, berupa
barang apabila masih ada wujudnya, atau ganti harganya apabila sudah tidak ada
wujudnya lagi.
Fuqoha madzhab Maliki memperhatikan pihak
mana yang memutuskan. Apabila yang memutuskan adalah pihak perempuan,
hadiah-hadiah yang pernah diterima dari pihak laki-laki harus dikembalikan,
dalam bentuk barang apabila masih ada wujudnya, atau pengganti harganya apabila
sudah rusak, hilang atau musnah. Apabila yang memutuskan adalah pihak
laki-laki, ia tidak berhak atas pengembalian hadiah yang pernah diberikan
kepada pihak perempuan, meskipun wujud barangnya masih ada pada waktu
memutuskan pertunangan terjadi. Penyimpangan dari ketentuan tersebut hanya
dibenarkan apabila ada syarat lain antara dua pihak, atau apabila ‘urf (adat
kebiasaan) tempat pihak-pihak bersangkutan menentukan lain.[2]
MAHAR
A.
Definisi
Mahar
Mahar dalam bahasa Arab shadaq.
Asalnya isim masdar dari kata ashdaqa,
masdarnya ishdaq diambil dari kata shidqin (benar). Dinamakan shadaq memberikan arti benar-benar cinta
nikah dan inilah yang pokok dalam kewajiban mahar atau maskawin.
Pengertian mahar menurut syara’ adalah sesuatu yang wajib sebab nikah atau
bercampur atau keluputan yang dilakukan secara terpaksa seperti menyusui dan
ralat para saksi.
Di dalam KHI masalah mahar juga
telah di jelaskan yang terdapat pada:
·
Pasal 30 menjelaskan bahwan calon mempelai pria wajib membayar
mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati
kedua belah pihak.
·
Pasal 31, penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan
yang dianjurkan
oleh agama Islam.
·
Pasal 32 Mahar diberikan langsung kepada
calon mempelai wanita, dan sejak itu milik pribadinya.
Menurut
Sayid sabiq dalam bukunya fiqih Sunnah juga menjelaskan bahwa hak suami
terhadap istrinya:
1. Hak kebendaan,
yaitu mahar dan nafkah.
2. Hak rohaniah,
deperti melakikannya dengan adil jika duami berpoligami dan tidak boleh
membahayakan istri.
Para fuqoha
berbeda dalam status mahar apakah sebagai pengganti pemanfaatan suami terhadap
organ vital wanita atau ia sebagai penghormatan dan pemberian dari Allah?
Al-Bajuri telah mengkompromikan dua pendapat ini yang pada intinya, orang yang
melihat lahirnya mahar sebagai imbalan pemanfaatan alat seks wanita mengatakan
mahar sebagai kompensasi pemanfaatan alat seks wanita tersebut. Bagi yang
melihat substansi dan batin bahwa sang istri bersenang-senang pada suami
sebagaimana sang suami juga bersenang-senang pada istrinya, mahar dijadikan
sebagai penghormatan dan pemberian dari Allah yang dikeluakan suami untuk
mendapatkan cinta dan kasih sayang antara pasangan suami istri.
B.
Syarat Sah Mahar
1. Mahar tidak berupa uang haram.
2. Tidak ada kesamaran, sperti mahar berupa hasil panen kebun pada
tahun yang akan datang.
3. Mahar dimiliki dengan pemilikan sempurna.
4. Mahar mampu diserahkan.
C.
Dalil
Disyari’atkan Mahar
Telah terkumpul banyak dalil tentang
pensyariatan mahar dan hukumnya wajib. Suami, istri, dan para wali tidak mempunyai
kekuasaan mempersyaratkan akad nikah tanpa mahar.
Dalil kewajiban mahar dari Al-Qur’an
adalah firman Allah SWT:
وَءَاتُواْ
النِّسَآءَصَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (QS.
An-Nisa’ : 4)
Dalil sunnahnya adalah sabda Nabi Saw. Kepada orang yang hendak
menikah :
اِلْتَمِسْ
وَلَوْ خَاتَمَ مِنْ حَدِيْدِ
Carilah walaupun cincin besi. (HR.
Muslim)
D.
Ukuran
Mahar
Fuqoha sepakat bahwa mahar tidak memiliki ukuran batas
yang harus dilakukan dan tidak boleh melebihinya. Ukuran mahar diserahkan
kepada kemampuan suami sesuai dengan pandangan yang sesuai. Tidak ada dalam
syara’ atau dalil yang membatasi mahar sampai tinggi dan tidak boleh
melebihinya.
Sekalipun fuqoha sepakat bahwa tidak
ada batas maksimal dalam mahar, tetapi seyognyanya tidak berlebihan, khususnya
di era sekarang.
Hadist yang diriwayatkan Rosulullah
Saw. Bersabda :
Wanita yang sedikit maharnya lebih
banyak berkahnya.
Ulama
Syafi’iyah, Imam Ahmad, Ishak, dan Abu Tsaur berpendapat tidak ada batas
minimal mahar, tetapi sah dengan apa saja yang mempunyai nilai materi, baik
sedikit maupun banyak.
Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa minimal sesuatu yang layak dijadikan mahar adalah
seperempat dinar emas atau tiga dirham perak. Menurut madzhab Hanafiyah, yang
diamalkan dalam ukuran minimal mahar adalah 10 dirham. Ukuran ini sesuai dengan
kondisi ekonomi yang berlaku.
E.
Benda yang Layak Dijadikan Mahar
Fuqoha sepakat bahwa harta yang
berharga dan maklum patut dijadikan mahar. Oleh karena itu emas, perak, uang,
takaran, timbangan, uang kertas, dan lain-lain sah dijadikan mahar karena ia
bernilai material dalam pandangan syara’. Sebagaimana pula mereka sepakat bahwa
sesuatu yang tidak sah untuk dijadikan mahar seperti babi, bangakai, dan khamr.
F.
Macam-macam Mahar
1.
Mahar yang Disebutkan
Maksudnya adalah mahar yang disepakati oleh
kedua belah pihak, baik pada saat akad maupun setelahnya seperti membatasi
mahar bersama akad atau penyelenggaraan akad tanpa menyebutkan mahar, kemudian
setelah itu kedua belah pihak mengadakan kesepakatan dengan syarat
penyebutannya benar.
2.
Mahar Mitsil (mahar yang sama)
Maksudnya adalah mahar yang diputuskan untuk
wanita yang menikah tanpa menyebutkan mahar dalam akad, ukuran mahar disamakan
dengan mahar wanita yang seimbang ketika menikah dari keluarga bapaknya seperti
saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan tunggal bapak.
G.
Hikmah Disyari’atkan Mahar
Mahar disyari’atkan Allah Swt. untuk mengangkat derajat wanita dan memberi
penjelasan bahwa akad pernikahan ini mempunyai kedudukan yang tinggi. Oleh
karena itu, Allah mewajibkannya kepada laki-laki bukan kepada wanita, karena ia
lebih mampu berusaha.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Khitbah adalah
permintaan seorang laki-laki terhadap keluarga wanita untuk meminangnya,
dilakukan oleh orang yang mencari pasangan atau lewat orang perantara dengan kententuan agama dan adat setempat.
2.
Tujuan pokok khitbah
adalah berjanji akan menikah, belum ada akad nikah.
3.
Hukum meminang adalah
boleh (mubah).
4.
Perempuan boleh
dipinang apabila memenuhi dua syarat,
yaitu tidak terdapat halangan-halangan syarak
untuk dikawini seketika oleh laki-laki yang meminang karena tidak ada
hubungan mahram, tidak dalam hubungan perkawinan dengan laki-laki lain atau
tidak sedang menjalani ialah talak raj’I dan tidak sedang dalam peminangan
laki-laki lain.
5.
Syarat sah
khitbah ada 2, yaitu seorang wanita
yang baik diakad nikahi dan wanita yang belum terpinang.
6.
Perempuan yang dapat dipinang dalam Masa Iddah yaitu wanita Ber-iddah Talak Raj’I, Ber-iddah
Talak Ba’in, Ber-iddah Talak Ba’in Shughra, Ber-iddah karena Khulu’ atau Fasakh,
dan Ber-iddah karena Kematian Suami.
7.
Mahar adalah pemberian yang wajib diberikan oleh mempelai
laki-laki kepada mempelai perempuan sebagai
penghormatan yang jumlah, bentuk dan jenisnya
disepakati kedua belah pihak. Mahar
diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dengan ikhlas dan sejak itu milik pribadinya.
8.
Syarat Sah Mahar, yaitu mahar tidak berupa uang haram, tidak ada kesamaran,
mahar dimiliki dengan pemilikan sempurna, mahar mampu diserahkan.
9.
Mahar tidak memiliki ukuran batas. Ukuran mahar
diserahkan
kepada kemampuan suami.
10.
Benda yang layak dijadikan mahar adalah harta yang berharga dan maklum patut dijadikan mahar.
11.
Mahar ada dua macam, yaitu mahar yang disebutkan dan Mahar Mitsil
(mahar yang sama).
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Azhar Basyir. Hukum Perkawinan Islam.Yogyakarta: UII
Press, 1999.
Abdul Aziz Muhammad Azzam. Fiqh Munakahat. Jakarta: AMZAH,
2009.
Sayyid
Sabiq. Fiqih Sunnah.
Bandung: PT.AL Ma’arif, 1981.
[1]
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, hlm.
1
[2]
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 24
0 comments