Liawardahna
  • Beranda
  • Literasi
  • Hukum
  • Sajak
  • Personal Blog
  • Empunya

Literasi

Sajak

Personal Blog

sumber : freepik.com

BAB I : PENDAHULUAN

Latar Belakang 

Bimbingan Perkawinan (Bimwin) adalah salah satu instrumen penting dalam proses pencatatan nikah di Indonesia. Tujuannya adalah memberikan pembekalan kepada calon pengantin (catin) mengenai perencanaan, pengetahuan, dan keterampilan mengelola kehidupan keluarga; reproduksi sehat; serta dinamika perkawinan dan keluarga, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2). Dalam implementasinya, posisi Bimwin dalam pencatatan nikah menimbulkan sejumlah persoalan. Sertifikat Bimwin yang menjadi syarat materiil dapat memberatkan catin dengan keterbatasan waktu. Saat ini, prosedur Bimwin terdiri dari tiga metode: tatap muka, virtual, dan mandiri. Metode tatap muka berlangsung dua hari dengan 10 jam pelajaran dalam 5 sesi. Metode virtual dilaksanakan dua hingga lima hari, sesuai kesepakatan. Metode mandiri memiliki fleksibilitas jadwal, dapat dilakukan di hari kerja, secara perorangan atau berpasangan. Namun, ketiga metode ini tetap membutuhkan total waktu 10 jam pelajaran, yang cukup panjang bagi catin dengan keterbatasan waktu. Untuk menjamin efektivitas hukum di lapangan, norma dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan perlu diperbaiki. Oleh karena itu, dilakukan analisis dan evaluasi terhadap ketentuan Bimbingan Perkawinan sebagai syarat pencatatan pernikahan.


Permasalahan

1. Bagaimana politik hukum penetapan bimbingan perkawinan sebagai syarat pencatatan pernikahan pasangan muslim pada Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan?

2. Apa saja yang menjadi isu krusial penetapan bimbingan perkawinan sebagai syarat pencatatan pernikahan pasangan muslim pada Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan?

3. Bagaimana hasil analisis dan evaluasi terhadap penetapan bimbingan perkawinan sebagai syarat pencatatan pernikahan pasangan muslim pada Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan?


Tujuan

1. Menjelaskan politik hukum penetapan bimbingan perkawinan sebagai syarat pencatatan pernikahan pasangan muslim pada Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan.

2. Merumuskan isu krusial penetapan bimbingan perkawinan sebagai syarat pencatatan pernikahan pasangan muslim pada Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan.

3. Menguraikan hasil analisis dan evaluasi terhadap penetapan bimbingan perkawinan sebagai syarat pencatatan pernikahan pasangan muslim pada Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan. 


Ruang Lingkup Analisis dan Evaluasi

Untuk menjawab permasalahan di atas, makar uang lingkup analisis dan evaluasi yang dilakukan adalah melakukan analisis dan evaluasi terhadap Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan berkaitan dengan penetapan bimbingan perkawinan sebagai syarat pencatatan pernikahan pasangan muslim. 


Metode Evaluasi

Dalam melakukan analisis dan evaluasi produk hukum dimaksud, dilaksanakan dengan menggunakan metode Analisis dan Evaluasi terhadap Peraturan Perundang-Undangan yang mendasarkan pada Pedoman Analisis dan evaluasi Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI Nomor PHN-01.HN.01.03 Tahun 2019. 


Terdapat beberapa dimensi sebagai alat yang digunakan dalam menganalisis dan mengevaluasi peraturan perundang-undangan tersebut yaitu:

1. Dimensi Pancasila

2. Dimensi Ketepatan Jenis Peraturan Perundang-Undangan

3. Dimensi Disharmoni Pengaturan

4. Dimensi Kejelasan Rumusan

5. Dimensi Kesesuaian Asas Bidang Hukum Peraturan Perundang-Undangan yang Bersangkutan

6. Dimensi Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan



BAB II : PEMBAHASAN

Politik Hukum 

Penetapan Bimbingan Perkawinan (Bimwin) sebagai syarat pencatatan pernikahan mencerminkan keinginan negara untuk meningkatkan kualitas kehidupan pernikahan serta membentuk keluarga yang lebih stabil dan sejahtera, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Penetapan ini diambil dengan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat modern yang semakin kompleks, yang ditandai dengan tingginya angka perceraian dan masalah keluarga. Dalam perspektif politik hukum, Bimwin dipandang sebagai instrumen untuk mempersiapkan calon pengantin dalam menjalani kehidupan rumah tangga dengan lebih baik, baik secara mental, spiritual, maupun pengetahuan praktis terkait hak dan kewajiban suami istri. Meski demikian, pengaturan ini menghadapi tantangan dari segi implementasi, di mana keberadaan Bimwin sebagai syarat berpotensi memperpanjang proses administratif dan menambah beban bagi calon pengantin, terutama dalam hal waktu dan biaya. Oleh karena itu, analisis terhadap politik hukum Bimwin perlu mempertimbangkan aspek keseimbangan antara tujuan yang ingin dicapai—yakni pernikahan yang berkualitas dan tahan lama—dengan perlunya memastikan akses yang adil dan mudah terhadap layanan pencatatan pernikahan, tanpa menghambat hak calon pengantin.


Isu Krusial 

1. Kejelasan Rumusan

Dimensi kejelasan rumusan merujuk pada seberapa jelas suatu ketentuan hukum disusun agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di lapangan. Dalam hal ini, posisi Bimbingan Perkawinan (Bimwin) sebagai syarat pencatatan nikah menimbulkan sejumlah ketidakjelasan yang perlu dianalisis lebih lanjut.


Pertama, Pasal 5 ayat (1), kewajiban mengikuti Bimwin muncul setelah pendaftaran kehendak nikah selesai, sehingga menjadi langkah lanjutan. Keikutsertaan bimwin dibuktikan dengan dokumen sertifikat sebagaimana Pasal 5 ayat (3). Ini menunjukkan bahwa Bimwin tidak termasuk dalam syarat formil yang harus dipenuhi pada tahap awal pendaftaran kehendak nikah. Dimana, ketentuan dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Agama Nomor 22 Tahun 2024 tidak mencantumkan sertifikat Bimwin sebagai syarat yang harus dilampirkan pada tahap pendaftaran kehendak nikah. 


Pasal 6 menyatakan bahwa sertifikat Bimwin diperiksa oleh Penghulu atau Pengawas Nikah sebagai bagian dari kelengkapan dokumen pada tahap pemeriksaan nikah. Hal ini menempatkan Bimwin sebagai syarat materiil yang harus dipenuhi untuk melanjutkan proses pencatatan nikah. Syarat materiil umumnya berkaitan dengan aspek substansi pernikahan, seperti sahnya akad nikah dan tidak adanya halangan untuk menikah. Namun, sertifikat Bimwin adalah dokumen administratif, sehingga penempatannya sebagai syarat materiil menimbulkan inkonsistensi dengan teori hukum yang membedakan antara syarat formil dan materiil.


Kejelasan rumusan juga dipengaruhi oleh ketentuan mengenai konsekuensi hukum jika syarat tidak terpenuhi. Dalam Pasal 7 ayat (1-2), disebutkan bahwa jika dokumen belum lengkap, termasuk sertifikat Bimwin, calon pengantin diberi kesempatan untuk melengkapinya paling lambat 1 hari sebelum akad nikah. Sementara itu, Pasal 8 ayat (1-2) menyatakan bahwa jika syarat materiil tidak terpenuhi, kehendak nikah dapat ditolak. Ketentuan ini menciptakan ambiguitas karena Bimwin diposisikan sebagai syarat materiil, tetapi konsekuensinya lebih mirip dengan syarat formil yang dapat dilengkapi kemudian.


Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan penajaman rumusan agar posisi Bimwin dalam tahapan pencatatan nikah lebih jelas. Misalnya, perlu ditegaskan bahwa Bimwin merupakan syarat formil yang harus dipenuhi sebelum pendaftaran kehendak nikah, atau jika tetap diposisikan sebagai syarat materiil, maka perlu diatur mekanisme yang lebih fleksibel terkait pelaksanaannya agar tidak memberatkan calon pengantin.


Kemudian, Pasal 38 Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 mengatur tentang penyerahan Buku Nikah dan Kartu Nikah kepada pasangan suami istri setelah pelaksanaan akad nikah. Adapun terkait penyerahan Buku Nikah, Pasal 38 mengatur bahwa penyerahan dapat ditunda paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal akad nikah, dengan alasan tertentu. Namun, regulasi ini tidak menjelaskan secara eksplisit apa yang dimaksud dengan "alasan tertentu." Ketentuan ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian dan interpretasi yang berbeda-beda di lapangan. Oleh karena itu, diperlukan penjelasan spesifik terkait dengan klausul "alasan tertentu" agar regulasi dapat diimplementasikan secara konsisten dan jelas. 


2. Kesesuaian Norma dengan Asas Materi Muatan

Analisis pada dimensi ini dilakukan untuk menilai apakah ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut telah mencerminkan makna yang terkandung dari asas materi muatan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini asas-asas tertentu, sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

a. Asas Kepastian

Asas kepastian dalam peraturan perundang-undangan bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat agar aturan tersebut dapat diprediksi dan tidak menimbulkan ketidakpastian. Dalam konteks Bimwin, asas kepastian perlu diperhatikan dengan memastikan bahwa prosedur, durasi, dan kewajiban Bimwin dirumuskan dengan jelas dan tidak menimbulkan ambiguitas bagi calon pengantin, seperti yang saat ini terjadi dengan ketentuan "alasan tertentu" dalam penyerahan Buku Nikah.


Asas kepastian juga berhubungan dengan durasi dan waktu pelaksanaan Bimwin yang saat ini diatur selama 10 jam dengan 5 sesi. Ketentuan ini dapat menimbulkan ketidakpastian bagi calon pengantin yang memiliki keterbatasan waktu karena tidak dijelaskan secara rinci apakah ada fleksibilitas dalam durasi tersebut, misalnya untuk kondisi khusus atau alasan mendesak. Oleh karena itu, norma hukum harus memberikan kepastian tentang alternatif yang tersedia jika calon pengantin tidak dapat memenuhi ketentuan durasi waktu tersebut.


Dengan kata lain, ketidakjelasan atau ketidakpastian mengenai tata cara, durasi, maupun urutan kewajiban dalam pelaksanaan Bimwin menunjukkan adanya pelanggaran terhadap asas kepastian, yang seharusnya dipenuhi oleh peraturan perundang-undangan untuk memberikan jaminan hukum yang jelas bagi masyarakat.


b. Asas Pelayanan yang Baik

Asas ini mengharuskan pelaksanaan norma hukum memberikan pelayanan yang efektif, efisien, transparan, dan tidak memberatkan masyarakat. Dalam konteks Bimwin, aspek Hukum Administrasi Negara muncul karena adanya tindakan administratif, seperti keterangan tertulis terkait penolakan kehendak nikah oleh Kepala KUA (Pasal 8 ayat (1)). Penolakan ini terjadi jika syarat, seperti mengikuti Bimwin, tidak terpenuhi. Oleh karena itu, Bimwin juga melibatkan elemen Hukum Administrasi Negara terkait pelayanan publik oleh KUA.


Pelaksanaan Bimwin harus mempertimbangkan kenyamanan calon pengantin, dengan pengaturan prosedur, jadwal, dan durasi yang jelas dan fleksibel. Misalnya, opsi bimbingan online atau mandiri dapat membantu calon pengantin yang memiliki keterbatasan waktu. Selain itu, ketersediaan fasilitator yang kompeten dan memadai perlu dipastikan agar pelayanan merata di seluruh wilayah.



3. Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan

Dimensi efektivitas dalam implementasi Bimbingan Perkawinan (Bimwin) perlu dipertimbangkan dari beberapa aspek hukum yang berpengaruh terhadap keberhasilan penerapan peraturan di lapangan. Analisis ini menyoroti apakah peraturan yang ada sudah dapat diimplementasikan dengan baik dan mencapai tujuan hukum yang diharapkan. Berdasarkan analisis SWOT yang telah dilakukan terhadap kesiapan infrastruktur program Bimwin, beberapa aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam menilai efektivitas peraturan terkait Bimwin adalah sebagai berikut:

a. Aspek Operasional atau Tidaknya Peraturan

Pada aspek operasional, terlihat bahwa ketentuan Bimwin belum dapat dilaksanakan secara efektif di lapangan. Pengaturan yang ada, terutama terkait metode pelaksanaan yang membutuhkan total waktu 10 jam, dirasakan memberatkan calon pengantin yang memiliki keterbatasan waktu. Meskipun terdapat fleksibilitas metode pelaksanaan (tatap muka, virtual, dan mandiri), durasi waktu yang panjang menjadi kendala operasional, sehingga peraturan ini belum bisa diterapkan dengan baik untuk semua kondisi calon pengantin.

Selain itu, analisis SWOT juga mengidentifikasi keterbatasan jumlah tenaga fasilitator di beberapa wilayah dan kendala infrastruktur yang menyebabkan implementasi Bimwin tidak optimal. Keterbatasan ini menunjukkan bahwa peraturan yang ada masih menghadapi tantangan dalam hal kesiapan operasional di lapangan.

b. Aspek Sumber Daya Manusia (SDM)

Efektivitas implementasi Bimwin sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM). Saat ini, jumlah fasilitator di beberapa daerah masih terbatas sehingga tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pelaksanaan Bimwin secara merata. Berdasarkan hasil analisis SWOT, terdapat 4.513 fasilitator yang tersebar di 2.808 Kantor Urusan Agama (KUA). Namun, beban kerja fasilitator belum diatur secara proporsional, di mana satu fasilitator dapat bertanggung jawab untuk lebih dari satu KUA. Walaupun jumlah fasilitator hampir mencakup seluruh KUA yang ada, yaitu 5.917 KUA, pembagian beban kerja yang tidak merata berpotensi menghambat pelayanan yang optimal. Selain itu, kompetensi fasilitator juga belum merata di seluruh wilayah, yang berdampak pada kualitas pembekalan yang diterima oleh calon pengantin. Oleh karena itu, aspek SDM dalam implementasi Bimwin masih perlu ditingkatkan, baik dari segi jumlah maupun kualitas fasilitator untuk mendukung penerapan peraturan secara efektif.

c. Aspek Partisipasi Masyarakat

Aspek partisipasi masyarakat dalam implementasi Bimwin sangat penting untuk menjamin keberhasilan penerapan peraturan. Partisipasi masyarakat dalam hal ini mencakup keterlibatan calon pengantin dan pihak-pihak terkait dalam mengikuti proses Bimwin. Berdasarkan analisis SWOT, ditemukan bahwa rendahnya sosialisasi mengenai kewajiban mengikuti Bimwin menyebabkan calon pengantin tidak memiliki persiapan yang cukup, baik dari segi waktu maupun kesadaran akan pentingnya mengikuti bimbingan tersebut. Oleh karena itu, partisipasi aktif masyarakat dan terbukanya akses informasi perlu ditingkatkan agar calon pengantin lebih siap dan termotivasi untuk mengikuti Bimwin.

d. Aspek Standar Operasional Pelaksana (SOP)

Ketersediaan standar operasional pelaksana (SOP) yang jelas, lengkap, dan benar-benar diterapkan merupakan faktor penting dalam menilai efektivitas implementasi Bimwin. Saat ini, SOP yang mengatur pelaksanaan Bimwin sudah ada, namun penerapannya di lapangan belum konsisten. Analisis SWOT menunjukkan bahwa rendahnya kepatuhan petugas terhadap SOP mengakibatkan ketidaksesuaian dalam pelaksanaan Bimwin di berbagai daerah. Beberapa daerah belum menerapkan SOP secara optimal, sehingga menimbulkan perbedaan dalam pelaksanaan Bimwin antarwilayah. Ketidakseragaman ini berdampak pada kualitas pelaksanaan dan keadilan dalam penerapan peraturan.

e. Aspek Pelayanan dan Batasan Waktu

Penentuan standar pelayanan minimum (SPM) merupakan aspek penting dalam menilai efektivitas pelaksanaan Bimwin. Durasi waktu Bimwin yang saat ini mencapai 10 jam dengan 5 sesi perlu dikurangi agar lebih efisien, namun tetap memenuhi esensi materi.



BAB III: PENUTUP

Kesimpulan

Politik hukum penetapan Bimbingan Perkawinan (Bimwin) sebagai syarat pencatatan pernikahan pasangan muslim pada Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 mencerminkan upaya negara untuk meningkatkan kualitas pernikahan serta membentuk keluarga yang stabil dan sejahtera. Kebijakan ini diambil dengan mempertimbangkan tingginya angka perceraian dan tantangan keluarga modern. Namun, terdapat beberapa ketidakjelasan dalam implementasi Bimwin yang perlu diselesaikan agar aturan ini efektif dan tidak memberatkan calon pengantin.


Terdapat tiga isu krusial dalam penetapan Bimwin sebagai syarat pencatatan nikah, yaitu: (1) posisi Bimwin sebagai syarat materiil dalam prosedur pencatatan nikah, yang apabila tidak terpenuhi maka kehendak nikah dapat ditolak, (2) durasi dan prosedur Bimwin yang cukup panjang yang menjadi beban bagi calon pengantin dengan keterbatasan waktu, serta (3) jaminan terhadap asas kepastian hukum dan pelayanan yang baik bagi masyarakat dalam implementasi ketentuan bimwin sebagai syarat pencatatan pernikahan.


Hasil analisis dan evaluasi menunjukkan bahwa penetapan Bimwin sebagai syarat pencatatan pernikahan memerlukan perbaikan agar dapat diimplementasikan secara efektif dan efisien. Norma yang ada harus disesuaikan untuk memberikan kepastian hukum dan pelayanan yang baik, termasuk penajaman rumusan, penyempurnaan SOP, fleksibilitas dalam pelaksanaan, serta peningkatan sumber daya manusia yang mendukung pelaksanaan Bimwin.



Rekomendasi

Penyesuaian Rumusan Norma dalam PMA: Diperlukan penyesuaian rumusan mengenai posisi Bimwin dalam prosedur pencatatan nikah agar lebih jelas, baik sebagai syarat formil sebelum pendaftaran kehendak nikah maupun sebagai syarat materiil yang dapat dilengkapi setelah pendaftaran. Rumusan ini harus dibuat sedemikian rupa agar tidak menimbulkan ambiguitas dalam implementasi.


Penyusunan Juknis Pelaksanaan Regulasi yang Fleksibel dan Memenuhi Asas Pelayanan yang Baik: Penyusunan petunjuk teknis (juknis) pelaksanaan regulasi Bimwin perlu dilakukan agar lebih fleksibel dan tidak memberatkan calon pengantin. Juknis tersebut harus mempertimbangkan metode bimbingan yang variatif, seperti bimbingan mandiri atau online, untuk mengurangi beban administratif dan memberikan kenyamanan bagi calon pengantin, serta memastikan pelayanan yang baik dan merata di seluruh wilayah.


Demikian kajian ini di susun sebagai bahan evaluasi dan rekomendasi dalam mendukung pelaksanaan Program. Mohon arahan lebih lanjut. 


Jakarta, 07 Januari 2024

Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis

Oleh : Lia Wardah Nadhifah



 



Tulisan ini dibuat pada bulan Agustus 2024 untuk mengawali pekerjaan setelah mutasi pertamaku. 


 

UU Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP

Eksistensi pidana mati di Indonesia merupakan persoalan yang sangat kompleks, di samping merupakan persoalan budaya dan religi, pidana mati juga bersifat politis. Secara substansial, hukuman mati itu merupakan salah satu bentuk sanksi yang diberlakukan pada pelanggar hukum, khususnya palanggaran berat. Hukuman mati dikenal dengan suatu bentuk hukuman yang kejam dan tidak kenal ampun. Sebenarnya tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan-kejahatan yang berat dan pidana mati dalam sejarah hukum pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan yang berkaitan erat. Hal ini nampak dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatan-kejahatan berat dengan pidana mati. Berdasarkan pada ketentuan yang ada pada KUHP menyangkut tentang macam sanksi pidana atau jenis pemidanaan hanya terdapat 2 macam hukuman pidana sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 10 KUHP.

Pidana mati telah tercantum sebagai pidana pokok sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 10 dari KUHP. Di Indonesia pidana mati terjadi pro dan kontra, melihat dari hasil penelitian lembaga internasional seperti Amnesti Internasional bahwa beberapa negara tidak lagi menjatuhkan pidana mati dan menghapus pidana mati dalam kurun waktu 10 tahun.

Mengenai waktu berlakunya hukum pidana merupakan pembatas antara perbuatan yang dilakukan dengan hukum yang berlaku. Mengenai hal ini telah diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengatur bahwa "Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada terlebih dulu" Pasal 1 ayat (1) dalam KUHP yang disahkan tahun 2022 menjadi UU dinyatakan bahwa "Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/ atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan" Pada prinsipnya dikatakan tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana apabila tidak ditentukan dahulu dalam UU, prinsip ini dikenal dengan asas legalitas dalam hukum pidana. Asas legalitas dapat dianggap sebagai asas mengenai sumber hukum dan sebagai rang berlakunya hukum pidana menurut waktu.

Legalitas hukuman mati di Indonesia diperkuat dengan lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 atas pengujian UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, tanggal 30 Oktober 2007 yang menolak uji materi hukuman mati dengan alasan :

a.      Hukuman mati tidak bertentangan dengan hak hidup yang dijamin UUD 1945 karena jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 tidak menganut kemutlakan, mesti dimaknai untuk menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Dengan demikian menurut Mahkamah Konstitusi, hak asasi manusia harus dibatasi dengan instumen UU, yakni hak untuk hidup tidak boleh dikurangi, kecuali diputuskan oleh pengadilan (Pasal 69 dan Pasal 73 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia)

b.     Berbagai instrumen hukum internasional menunjukkan bahwa pemberlakuan pidana mati atau penghilangan nyawa dibenarkan sepanjang memenuhi persyaratan atau pembatasan yang ditentukan. Artinya, penghapusan pidana mati belum menjadi norma hukum yang berlaku umum yang harus diterima oleh masyarakat internasional secara universal.

c.      Dengan memberlakukan pidana mati di Indonesia terhadap kejahatan tidak terdapat kewajiban hukum internasional apa pun yang dilanggar.

Secara yuridis penerapan hukuman mati di Indonesia dibenarkan dan tidak merupakan pelanggaran hak asasi manusia, karena dalam pelaksanaannya kepada terhukum mati melalui ekstra hati hati dan tidak boleh dilakukan dengan sesuka hati, namun harus melalui tahap-tahap yang cukup ketat dan penuh hati-hati sebagaimana yang disebutkan dibawah ini. Pelaku kejahatan tersebut telah memenuhi persyaratan yang ditentukan yaitu:

a.      Berakal, sehat dan telah dewasa.

b.     Ada unsur sengaja kepada pelaku ketika melakukan kejahatan tersebut.

c.     Dalam melakukan kejahatan tersebut, bebas dari pada unsur paksaan.

d.     Hal ini menunjukan bahwa segala perbuatan yang dilakukan karena salah, lupa, dan terpaksa tidak akan dipertanggung jawabkan sebagai perbuatan kejahatan dan merupakan pelanggaran dosa.

e.      Harus terhindar dari masalah-masalah yang meragukan

f.       Telah mendapat keputusan Hakim Pengadilan yang berwibawa.

Berdasarkan Pasal 10 KUHP dapat diketahui bahwa lembaga pidana mati merupakan salah satu hukuman yang masih jelas keberadaannya sebagai bagian dari hukuman pidana yang dijatuhkan. Praktiknya, dalam pelaksanaan pidana mati terjadi pandangan yang pro dan kontra.

Terdapat dua kelompok yang secara komprehensif mengajukan argumentasi, baik yang menentang (abolisionis) maupun yang mendukung (retensionis) hukuman mati.

a.      Kelompok abolisionis mendasarkan argumennya pada beberapa alasan yaitu :

1)    Hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang merendahkan martabat manusia dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Atas dasar argumen inilah kemudian banyak negara menghapuskan hukuman mati dalam sistem peradilan pidananya. Sampai sekarang ini sudah 97 negara menghapuskan hukuman mati. Negara-negara anggota Uni Eropa dilarang menerapkan hukuman mati berdasarkan Pasal 2 Charter of Fundamental Rights of the European Union tahun 2000. Majelis Umum PBB pada tahun 2007, 2008 dan 2010 mengadopsi resolusi tidak mengikat (non-binding resolutions) yang menghimbau moratorium global terhadap hukuman
mati. Protokol Opsional II International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR akhirnya mewajibkan setiap negara mengambil langkah-langkah untuk menghapuskan pidana mati.

2)    Kelompok abolisionis juga menolak alasan kaum retensionis yang meyakini hukuman mati akan menimbulkan efek jera, dan karenanya akan menurunkan tingkat kejahatan khususnya korupsi. Belum ada bukti ilmiah konklusif yang membuktikan korelasi negatif antara hukuman mati dan tingkat korupsi. Sebaliknya, berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi Transparansi Internasional tahun 2011, justru negara-negara yang tidak menerapkan hukuman mati menempati ranking tertinggi sebagai negara yang relatif bersih dari korupsi, yaitu Selandia Baru, Denmark, dan Swedia.

b.     Kelompok retensionis mengajukan argumen yang mendukung hukuman mati. Alasan utama adalah hukuman mati memberikan efek cegah terhadap pejabat publik yang akan melakukan korupsi. Bila menyadari akan dihukum mati, pejabat demikian setidaknya akan berpikir seribu kali untuk melakukan korupsi. Fakta membuktikan, bila dibandingkan dengan negara-negara maju yang tidak menerapkan hukuman mati, Arab Saudi yang memberlakukan hukum Islam dan hukuman mati memiliki tingkat kejahatan yang rendah.

Indonesia adalah salah satu negara retensionis (mendukung) yang secara de yure maupun de facto mengakui adanya pidana mati. Kelompok retensionis di Indonesia berpendapat, hukuman mati terhadap koruptor tidak melanggar konstitusi sebagaimana telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi. Modderman seorang sarjana yang pro pidana mati berpendapat bahwa demi ketertiban umum pidana mati dapat dan harus diterapkan, namun penerapan ini hanya sebagai sasaran terakhir dan harus dilihat sebagai wewenang darurat yang dalam keadaan luar biasa dapat diterapkan.

Pidana mati merupakan hukuman yang terberat dari jenis-jenis ancaman hukuman yang tercantum dalam Kitab UU Hukum Pidana Bab 2 Pasal 10 karena pidana mati merupakan pidana terberat yaitu yang pelaksanaannya berupa perampasan terhadap kehidupan manusia, maka tidaklah heran apabila dalam menentukan hukuman mati terdapat banyak pendapat yang pro dan kontra dikalangan ahli hukum ataupun masyarakat itu sendiri.

Adapun alasan-alasan umum yang diberikan oleh golongan yang menyetujui pidana mati adalah:

a.      Orang-orang berbahaya harus dilenyapkan agar tidak mengganggu dan menghalangi kemajuan masyarakat.

b.     Sebagai Perwujudan pembalasan.

c.      Jika seorang penjahat besar yang dimasukan dalam penjara tidak dibunuh maka ketika ia bebas ia akan mengulangi perbuatan lagi.

d.     Yang tidak dibebaskan akan menimbulkan kesulitan dan kekacaun dalam penjara.

e.      Menakutkan orang lain hingga tidak berani turut berbuat.

Baik yang kontra maupun yang pro, alasan yang diberikannya semua tertumpu pada Hak Asasi Manusia (HAM). Perlu kiranya diuraikan tentang argumentasi bagi keduanya, tentunya dengan tetap mengacu pada hukum nasional. “Hukuman mati tidak dapat dilaksanakan bagi kejahatan yang dilakukan oleh orang dibawah umur 18 tahun dan juga perempuan hamil”.

Menurut The Indonesian Human Rights Watch, terdapat tiga alasan utama mengapa penjatuhan hukuman mati sering kali digunakan oleh pengadilan, antara lain :

a.     Hasil penerapan ancaman hukuman mati digunakan oleh rezim colonial Belanda, kemudian dalam prakteknya terus digunakan sampai rezim orde baru untuk memberikan rasa takut bahkan menghabiskan lwan politik. Hal ini dapat dilihat pada penerapan kejahatan politik
Pasal 104 KUHP.

b.     Upaya menerbitkan beberapa katentuan hukum baru yang mencantumkan ancaman pidana mati sebagai langkah kopensasi politik akibat ketidakmampuan membenahi sistem hukum yang korup. Padahal ancaman pidana mati tidak pernah bisa membuktikan efektifitasnya mengurangi angka kejahatan termasuk narkotika.

c.     Meningkatnya angka kejahatan dilihat semata sebagai tanggung jawab
individu pelaku.

Keputusan Presiden menolak grasi dari terpidana mati menjadi dasar dan bagian dari proses hukuman eksekusi hukuman mati. Konsistensi hukuman mati dalam kasus narkoba diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara No. 2/PUU-V/2007 dan Perkara No. 3/PUU-V/2007 perihal pengujian UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang menolak permohonan untuk membatalkan hukuman mati. Dukungan terhadap hukuman mati karena dapat menimbulkan efek jera bagi pengedar nasional dan internasional. Hukuman mati ini sangat relevan dengan situasi darurat narkotika saat ini, meskipun masih ada perdebatan.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 terkait pengujian konstitusionalitas hukuman mati yang dijatuhkan pada 30 Oktober 2007, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan UUD 1945, namun dalam kesimpulan akhirnya Mahkamah Konstitusi berpendapat agar di masa mendatang dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional, beberapa hal harus sungguh-sungguh menjadi perhatian, yaitu:

a.     Pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif;

b.     Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun;

c.     Pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa;

d.     Eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh.

Putusan Mahkamah Konstitusi telah dijelaskan bahwa penerapan sanksi pidana mati bagi para pelaku tindak pidana narkotika tidak melanggar hak asasi manusia, akan tetapi justru pelaku tersebut telah melanggar hak asasi manusia lain, yang memberikan dampak terhadap kehancuran generasi muda yang akan datang.Pelaksanaan pidana mati tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 karena “ hak setiap orang untuk hidup” sebagaimana tertera dalam Pasal 28 a dan 28 i ayat (1) harus dibaca dan ditafsirkan dalam kesatuan dengan Pasal 28 j ayat (2) yaitu dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dalam UU dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.

 

UU Nomor 1 Tahun 2023 Tentang KUHP

Ada pergeseran paradigma dalam Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) baru terlihat dari sejumlah pasal-pasalnya. Salah satunya soal pengaturan hukuman mati yang berbeda pengaturannya sebagaimana tertuang dalam KUHP sebelumnya yang berlaku selama ini. Ketentuan tentang hukuman mati dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 Tentang KUHP yang disahkan pada 6 Desember 2022 terdapat beberapa perubahan penting terutama pembaharuan yaitu hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun.

UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) yang baru menempatkan pidana mati dalam rumusan sebagai pidana pokok yang bersifat khusus dan diancamkan secara alternatif, dicantumkannya pidana mati dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus, sebagaimana ditegaskan Pasal 63 bahwa “pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif”, jika dibandingkan dengan jenis pidana yang lain, pidana mati merupakan jenis pidana yang paling berat. Pidana mati ini harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana lainnya, yakni pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pidana mati dapat dijatuhkan pula secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan.

KUHP baru menentukan bahwa pelaksanaan hukuman mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan syarat-syarat tertentu, yaitu :

1.     Reaksi masyarakat tidak terlalu besar;

2.     Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki;

3.     Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting;

4.     Ada alasan yang meringankan.

Ada dua hal yang diperhatikan untuk dapat mengubah pidana mati menjadi seumur hidup sebagaimana tercantum dalam Pasal 100 ayat (1) KUHP:

1.     Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan:

a.     Rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri;

b.     Peran terdakwa dalam Tindak Pidana.

Apabila selama masa percobaan terpidana tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung. Secara lengkap begini isi Pasal 100 dan Pasal 101 KUHP baru yang memuat mengenai aturan hukuman mati:

Pasal 100 KUHP:

(1)   Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan:

a.     Rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri;

b.     Peran terdakwa dalam Tindak Pidana.

(2)   Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.

(3)   Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) Hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

(4)   Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.

(5)   Pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak Keputusan Presiden ditetapkan.

(6)   Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.

Pasal 101: Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama l0 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden.

Berdasarkan KUHP yang baru, maka pada hakikatnya, jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, sementara jika terpidana selama masa percobaan tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung, dengan ketentuan ini, terdapat kemungkinan bagi hakim untuk menjatuhkan pidana mati bersyarat, jika dibandingkan dengan ketentuan mengenai hukuman mati dalam KUHP sekarang ini, pengaturan tentang hukuman mati dalam KHUP baru memang terlihat lebih rinci dan lengkap.

Dikeluarkannya pidana mati dari posisi pidana pokok didasarkan pada pertimbangan bahwa, dilihat dari tujuan pemidanaan, pidana mati pada hakikatnya bukan sarana utama untuk mengatur, menertibkan dan memperbaiki individu dan atau masyarakat, pidana mati hanya merupakan sarana terakhir dan sebagai pengecualian untuk mengayomi masyarakat, jadi penulis berkesimpulan bahwa pertimbangan tersebut lebih menekankan perlunya hukuman mati dipertahankan dalam hukum pidana sebagai instrument untuk mencegah dan melindungi masyarakat dari penjahat yang sangat membahayakan serta mengancam nyawa dan jiwa manusia, sehingga keberlangsungan hidup manusia dapat terjamin.

Berdasarkan Pasal 100 KUHP, maka seseorang yang menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji selama masa percobaan tersebut, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup yakni, dengan Keputusan Presiden (Keppres) setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung (MA). Menurut Pasal 100 ayat 5 KUHP bahwa pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak Keputusan Presiden ditetapkan. "Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung (Pasal 100 ayat (6) KUHP).

Menurut KUHP yang baru pidana mati dijatuhkan pengadilan terhadap terdakwa yang diancam sanksi hukuman mati secara alternatif dengan masa percobaan selama 10 tahun. Masa percobaan satu dasawarsa itu menjadi pertimbangan dengan harapan adanya perubahan perilaku serta kehidupannya dan penyesalan dari terpidana. Dengan begitu, pidana mati tidak perlu dilaksanakan dan dapat diganti atau dikonversi dengan pidana penjara seumur hidup.

Sejak awal pembentuk KUHP baru menyepakati pidana mati tidak terdapat dalam stelsel pidana pokok tetapi ditentukan dalam pasal tersendiri agar menunjukan jenis pidana mati bersifat khusus sebagai upaya terakhir. Karenanya, hukuman mati menjadi pidana paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.

Membahas pidana mati perlulah sekiranya untuk membandingkan antara KUHP lama dan KUHP baru. Meskipun telah disahkan, KUHP baru bisa diberlakukan saat tahun 2026 sehingga KUHP lama masih berlaku.

Apabila dibandingkan KUHP yang lama dengan KUHP baru, maka diketahui bahwa KUHP lama meletakan pidana mati sebagai pidana pokok dan merupakan sanksi pidana tertinggi. Pengaturan mengenai Pidana mati diatur dalam Undang- Undang No. 02/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati dalam Lingkungan Pengadilan Umum dan Militer adalah dilakukan dengan cara ditembak sampai mati. Adapun penentuan waktu dan tempat dilaksanakannya pidana mati dilakukan berdasarkan ketentuan hakim. UU ini merupakan pengaturan terbaru mengenai pidana mati dalam KUHP lama. Hal ini dikarenakan pada Pasal 11 KUHP, pidana mati dilakukan dengan cara digantung
yang dirasa tidak relevan dengan saat ini.

 

Hukum Islam

Kajian terhadap penerapan pidana mati di Indonesia ditinjau dari maqashid al-shari’ah. Mengacu pada tujuan utama syariah yang bertujuan untuk memelihara lima hal mendasar: agama (din), jiwa (nafs), akal (aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Dalam konteks penerapan pidana mati, berikut adalah penjelasan dari masing-masing tujuan tersebut:

Memelihara Agama (Hifz al-Din), Dalam syariah, menjaga agama adalah salah satu tujuan utama. Hukuman mati dapat diterapkan dalam kasus murtad (apostasy) jika dianggap membahayakan agama dan menyebabkan kerusakan besar pada komunitas Muslim. Namun, penerapan ini harus sangat hati-hati dan melalui proses yang adil.
Memelihara Jiwa (Hifz al-Nafs), Memelihara jiwa adalah inti dari syariah, dan pidana mati dapat diterapkan dalam kasus pembunuhan (qisas) untuk memberikan keadilan kepada keluarga korban dan mencegah kejahatan serupa di masa depan. Prinsip qisas dalam Islam adalah bahwa keluarga korban dapat memilih untuk menuntut hukuman mati atau memberikan pengampunan dengan menerima diyat (kompensasi).
Memelihara Akal (Hifz al-Aql), Memelihara akal berarti menjaga integritas dan kesejahteraan mental masyarakat. Dalam beberapa kasus ekstrem yang dapat merusak akal atau kesejahteraan mental masyarakat luas, hukuman mati dapat dipertimbangkan sebagai upaya untuk menjaga ketertiban umum dan moralitas masyarakat.
Memelihara Keturunan (Hifz al-Nasl), Memelihara keturunan mengacu pada perlindungan keluarga dan generasi mendatang. Hukuman mati dapat diterapkan dalam kasus-kasus serius seperti pemerkosaan atau kekerasan seksual yang mengancam integritas keluarga dan keturunan. Namun, penerapan ini harus sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan.
Memelihara Harta (Hifz al-Mal), Memelihara harta berarti melindungi properti dan ekonomi individu serta masyarakat. Hukuman mati tidak umum diterapkan dalam kasus yang hanya melibatkan pelanggaran terhadap harta, tetapi dapat dipertimbangkan dalam kasus kejahatan berat yang melibatkan perampokan dengan kekerasan atau korupsi besar yang mengancam stabilitas ekonomi negara.

Ketentuan Batasan dalam Hukum Islam Berdasarkan Maqasid al-Shariah:

1.      Keberadaan Bukti yang Kuat dan Saksi yang Adil

2.      Kesempatan untuk Taubat dan Pengampunan

3.      Konsistensi dengan Prinsip Keadilan (Al-Adl)

4.      Pengadilan yang Adil dan Transparan (Syariah)

 

 

Postingan Lama Beranda

Tentang Saya

Kalo ngomong belepotan. Kalo nulis kewalahan. Terima kasih sudah berkunjung, jangan lupa follow IG/Twitter. Biar kita saling kenal.

POPULAR POSTS

  • MAKALAH HIJAB, MAHJUB DAN ASHABAH (lengkap dengan tabel bagian dan syarat bagi masing-masing penerima harta warisan)
  • Tabel Bagian Furudhul Muqoddaroh dan Syarat-Syaratnya
  • Makalah Muamalah dengan sistem Multi Level Marketing (MLM)
  • makalah fiqih munakahat materi khitbah dan mahar.
  • Tabel Bagian Hijab Mahjub Nuqsan
  • MAKALAH POLITIK ISLAM PADA ZAMAN KLASIK, PERTENGAHAN DAN MODERN
  • Pejabat Penilai Kinerja Jabatan Fungsional Penyuluh Agama Islam: Melacak Kekaburan dalam Kebijakan dan Praktik Evaluasi Kinerja
  • MAKALAH PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PRESPEKTIF ISLAM DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
  • Undangan Ngobrol Santai, Tapi Ternyata Somasi Loh!
  • Strategi Peningkatan Kinerja Penyuluh Agama Islam
Diberdayakan oleh Blogger.

Videoku

Arsip Blog

  • ▼  2025 (2)
    • ▼  Januari (2)
      • Bimbingan Perkawinan Sebagai Syarat Pencatatan Pe...
      • Policy Brief : Pemenuhan Fasilitator Bimwin di KUA
  • ►  2024 (11)
    • ►  Agustus (10)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2023 (5)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (2)
    • ►  Mei (1)
  • ►  2021 (7)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2020 (3)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  April (2)
  • ►  2019 (9)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (3)
  • ►  2016 (1)
    • ►  Agustus (1)
  • ►  2015 (1)
    • ►  Agustus (1)
  • ►  2014 (8)
    • ►  Desember (7)
    • ►  April (1)
  • ►  2013 (1)
    • ►  November (1)

Copyright © Liawardahna. Designed by OddThemes