MAKALAH HIJAB, MAHJUB DAN ASHABAH (lengkap dengan tabel bagian dan syarat bagi masing-masing penerima harta warisan)



MAKALAH
HIJAB, MAHJUB DAN ASHABAH

A.     Pendahuluan
Sistem waris merupakan salah satu sebab atau alasan adanya pemindahan kepemilikan, yaitu berpindahnya harta benda dan hak-hak material dari pihak yang mewarisakan, setelah yang bersangkutan wafat kepada penerima warisan dengan jalan pergantian yang didasarkan pada hukum syara’.
Hukum kewarisan islam mengakui adanya prinsip keutamaan dalam kewarisan yang berarti lebih berhaknya seseorang atas harta warisan dibandingkan orang lain. Keutamaan dapat disebabkan oleh jarak yang lebih dekat kepada pewaris dibandingkan dengan orang lain dan kuatnya hubungan kekerabatan. Keutamaan tersebut yang menyebab adanya tahapan dinding-mendinding (hijab mahjub). 
Adanya perbedaan dalam tingkat kekerabatan itu diakui oleh Allah dalam Al-Quran surat Al-Anfal : 75
وَأُولُوا الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ
Artinya : “…orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagian lebih berhak terhadap sesama didalam kitab Allah…”
Selanjutnya tahapan ashabah, tahapan ini dikerjakan setelah selesai tahapan hijab mahjub.  Dengan tahapan ashabah ini dapat ditentukan berapa bagian masing-masing dan bagian ahli waris yang tidak dapat ditentukan porsi atau jumlah bagiannya. Ahli waris yang menjadi ashabah menunggu sisa pembagian, dengan sendirinya seseorang ashabah dapat saja memperoleh bagian yang lebih besar, atau memperoleh sedikit, atau juga dapat tidak memperoleh sisa sama sekali.
Untuk lebih jelasnya akan kami bahas dalam bab berikutnya.
B.      HIJAB DAN MAHJUB
          1.           Pengertian
Hijab menurut bahasa berarti al-man’u (menghalangi, mencegah). Sedangkan hijab menurut istilah adalah menghalangi seseorang untuk menerima sebagian atau seluruh bagian harta warisan sebab ada ahli waris lain yang lebih utama (Muhibbin, 2011:80).
Mahjub adalah ahli waris yang ditutup hak warisnya karena adanya ahli waris yang lebih utama (Muhibbin, 2011:80).
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa orang yang menjadi penghalang atau pencegah dinamakan hijab, sedangkan orang yang dicegah atau dihalangi ataupun ditutup dinamakan mahjub.
          2.           Macam-Macam Hijab
Hijab dibedakan menjadi dua yaitu:
a.        Hijab Nuqsan
Hijab nuqsan adalah berkurangnya sebagian dari bagian yang diterima sebab adanya ahli waris lain yang menjadi penghalang (Syarkun, 2012:59). Bagian ahli waris yang terjadi pengurangan hanya ahli waris penerima bagian pasti (ashabu al-furudh) (Syarkun, 2012:60). Mereka adalah :
No
Ahli waris yang dihalangi (mahjub)
Ahli waris yang menghalangi (hijab)
1
Suami/ duda
Anak, cucu, atau cicit
2
Istri/ janda
Anak, cucu, atau cicit
3
Ibu
Anak, cucu, dua orang perempuan atau lebih
4
Cucu perempuan
Anak perempuan seorang
5
Saudara perempuan seayah
Saudara perempuan sekandung seorang
Contoh:
·         Bagian suami terbanyak adalah1/2, karena ada anak, maka bagian suami turun menjadi  1/4.
·         Bagian ibu terbanyak adalah 1/3 , karena mayat meninggalkan anak maka bagian ibu turun menjadi 1/6.
b.       Hijab Hirman
Hijab hirman adalah tertutupnya (hilangnya) hak seorang ahli waris untuk seluruhnya, karena ada ahli waris yang mendapatkan prioritas (Muhibbin, 2011:81). Prioritas tersebut adalah (Syarkun, 2012:61):
1)       Karena adanya urutan kelompok.
2)       Karena lebih dekat hubungan pertalian nasab dengan mayat.
3)       Karena lebih kuat hubungan pertalian nasab dengan mayat.
Dari seluruh kerabat yang tidak dapat tertutup (hijab) haknya (kecuali jika ada penghalang) yaitu (Muhibbin, 2011:81):
1)       Suami atau istri
2)       Anak-anak baik laki-laki maupun perempuan
3)       Ayah
4)       Ibu
Lebih jelas tentang ahli waris yang menjadi mahjub karena adanya hijab hirman, yaitu (Muhibbin, 2011:81-87)
No
Ahli waris yang dihalangi (mahjub)
Ahli waris yang menghalangi (hijab)
1
Kakek
Ayah.
2
Nenek dari ibu
Ibu.
3
Nenek dari ayah
Ayah
4
Cucu laki-laki
Anak laki-laki.
5
Cucu perempuan
Anak laki-laki dan anak perempuan dua orang/ lebih.
6
Saudara kandung (laki atau perempuan)
Anak laki-laki, cucu laki-laki dan ayah
7
Saudara seayah laki-laki atau perempuan
Anak laki-laki, cucu laki-laki, ayah, saudara sekandung laki-laki, dan saudara sekandung perempuan bersama anak/ cucu perempuan.
8
Saudara seibu laki atau perempuan
Anak laki dan anak perempuan, cucu laki dan cucu perempuan, ayah dan kakek.
9
Anak laki-laki saudara laki sekandung
Anak atau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki sekandung atau seayah, saudara perempuan sekandung atau seayah yang menerima asabah ma’al ghoir.
10
Anak laki-laki saudara seayah
Anak atau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki sekandung atau seayah, anak laki-laki saudara laki-laki sekandung, saudara perempuan sekandung atau seayah yang menerima asabah ma’al ghoir.
11
Paman sekandung
Anak atau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki sekandung atau seayah, anak laki-laki saudara laki-laki sekandung atau seayah, saudara perempuan sekandung atau seayah yang menerima asabah ma’al ghoir,
12
Paman seayah
Anak atau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki sekandung atau seayah, anak laki-laki saudara laki-laki sekandung atau seayah, saudara perempuan sekandung atau seayah yang menerima asabah ma’al ghoir, dan paman sekandung atau seayah
13
Anak laki-laki paman sekandung
Anak atau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki sekandung atau seayah, anak laki-laki saudara laki-laki sekandung atau seayah, saudara perempuan sekandung atau seayah yang menerima asabah ma’al ghoir, dan paman sekandung atau seayah
14
Anak laki-laki paman seayah
Anak atau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki sekandung atau seayah, anak laki-laki sekandung atau seayah, anak laki-laki saudara laki-laki sekandung atau seayah, saudara perempuan sekandung atau seayah yang menerima asabah ma’al ghair, paman sekandung atau seayah dan anak laki-laki paman sekandung

C.      ASHABAH
1.        Pengertian
Ashabah berasal dari kata ‘aashib yang berarti pertalian keluarga (Al-Munawwir:1004) Sedangkan ashabah menurut istilah adalah ahli waris yang mendapat bagian sisa seluruh harta peninggalan setelah ahli waris penerima bagian pasti menerima bagiannya (Qasim, 2009:107)
2.        Macam-Macam Ashabah
Ashabah ada 2 (dua) macam yaitu:
a.        Ashabah Nasabiyah
Ashabah nasabiyah ada 3 (tiga) golongan yaitu:
1)       Ashabah binnafsi, yaitu ahli waris laki-laki yang nasabnya dengan mayat tidak diselingi oleh perempuan (Syarkun, 2012:21) Secara berurutan (Syarkun, 2012:21) yaitu:
No
Ashabahbi an-nafs
Syarat
1
Anak laki-laki
-
2
Anak laki-laki dari anak laki-laki (no.1) dan keturunan ke bawah
Tidak ada anak laki-laki (no.1)
3
Bapak
Tidak ada anak laki-laki-laki (no.1) sampai no.2
4
Kakek dan sketurunan ke atas
Tidak ada  no.1 sampai no.3
5
Saudara laki-laki sekandung
Tidak ada no.1 sampai no.4
6
Saudara laki-laki seayah
Tidak ada no.1 sampai no.5
7
Keponakan laki-laki (dari saudara sekandung)
Tidak ada no.1 sampaino.6
8
Keponakan laki-laki(dari saudara sebapak)
Tidak ada no.1 sampai no.7
9
Paman sekandung
Tidak ada no.1 sampai no.8
10
Paman seayah
Tidak ada no.1 sampai no.9
11
Saudara laki-laki sepupu (anak laki-laki no.9)
Tidak ada no.1 sampai no.10
12
Saudara laki-laki sepupu (anak laki-laki no.10)
Tidak ada no.1 sampai no.11

Ketentuan Pembagian (Syarkun, 2012:25-27)
·          Berdasarkan urutan kelompok mereka.
·          Berdasarkan atas kedekatan mereka.
·          Berdasarkan yang lebih kuat.
2)       Ashabah bil ghair, yaitu ahli waris perempuan yang mendapatkan bagian 1/2 jika sendiri dan mendapat 2/3 jika bersama dengan dua orang atau lebih, ketika bersama saudara laki-laki mereka (Syarkun, 2012:25-27). Perempuan yang menjadi ashabah bil ghair ada 4 (Syarkun, 2012:28):
No
Ashabah bil Ghair
Syarat
1
Anak perempuan
Ada anak laki-laki
2
Cucu perempuan
Ada cucu laki-laki
3
Saudara perempuan sekandung
Ada sudara laki-laki sekandung
4
Saudara perempuan sebapak
Ada sudara laki-laki sebapak
Cara mewarisi ashabah bil ghair menggunakan teori ‘adat ar-ru’us, yaitu penghitungan berdasarkan jumlah ahli waris. Perempuan dihitung 1 orang sedangkan laki-laki dihitung 2 orang (Syarkun, 2012:28)
3)       Ashabah ma’al ghair, yaitu setiap perempuan yang memerlukan perempuan lain untuk menjadi ashabah (Sabiq, 1987:283). Terdiri dari 2 golongan (Syarkun, 2012:31):
No
Ashabah ma’ al-ghair
Syarat
1
Saudara perempuan sekandung
Jika ada anak atau cucu perempuan.
2
Saudara perempuan seayah
Cara mewarisi
Ahli waris yang mendapat bagian sisa hanya saudara sekandung dan seayah. Sedangkan anak perempuan dan cucu perempuan, mengambil bagiannya sendiri yaitu bagian pasti (Syarkun, 2012:31)
b.       Ashabah Sababiyah, yaitu tuanyang memerdekakan. Bila orang yang memerdekakan tidak ada, maka warisan itu bagi ashabahnya yang  lelaki (Sabiq, 1987:285).
D.     KESIMPULAN
Hijab adalah orang yang menjadi penghalang atau pencegah. Mahjub orang yang dicegah atau dihalangi ataupun ditutup. Hijab ada 2 macam yaitu : hijab nuqsan adalah berkurangnya sebagian dari bagian yang diterima sebab adanya ahli waris lain yang menjadi penghalang, hijab hirman adalah tertutupnya (hilangnya) hak seorang ahli waris untuk seluruhnya, karena ada ahli waris yang mendapatkan prioritas.
Ashabah adalah ahli waris yang mendapat bagian sisa seluruh harta peninggalan setelah ahli waris penerima bagian pasti menerima bagiannya. Ashabah ada 2 (dua) bagian (1) Ashabah Nasabiyah, terdiri dari 3 golongan yaitu: ashabah binnafsi, yaitu ahli waris laki-laki yang nasabnya dengan mayat tidak diselingi oleh perempuan, ashabah bil ghair, yaitu ahli waris perempuan yang mendapatkan bagian ½ jika sendiri dan mendapat 2/3 jika bersama dengan dua orang atau lebih, ketika bersama saudara laki-laki mereka, dan ashabah ma’al ghair, yaitu setiap perempuan yang memerlukan perempuan lain untuk menjadi ashabah, (2) Ashabah Sababiyah, yaitu tuan yang memerdekakan. Bila orang yang memerdekakan tidak ada, maka warisan itu bagi ashabahnya yang  lelaki. Tetapi, untuk ashabah sababiyah ini sudah tidak ada lagi.

















DAFTAR PUSTAKA
Al-Munawwir, Ahmad Warson. Al Munawwir Kamus Arab Indonesia.

Muhibbin. Wahid, Abdul. 2011. Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika Offset).

Qosim, Rizal. 2009. Pengalaman Fikih untuk kelas XI Madrasah Aliyah. (Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri).

Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah. (Bandung: PT Alma’arif).

Syarkun, Syuhada’. 2012. Menguasai Ilmu Fara’idh. (Jakarta: Pustaka Syarkun).


5 komentar

  1. lia wardah nadhifah23 Agustus 2016 pukul 14.42

    buat teman-teman yang menjadikan referensi makalah ini, sebaiknya ditambah dengan dalil-dalil tentang ashobah, hijab, maupun mahjub, karena penulis lupa mencantumkan dasar hukum dalam makalah ini. Dasar hukum diletakkan setelah pengertian dijelaskan. Terima Kasih
    Semoga Sukses.. amin
    liawardahna

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. bagus mbk makalahnya, kunjungi juga blog saya islamatika

    BalasHapus