MAKALAH
KHAUF WARROJA’
A.
PENDAHULUAN
Seiring berkembangnya ilmu
pengetahuan dan tehnologi modern serta maraknya berbagai aliran dalam agama
islam yang menyimpang dari ajaran-ajaran islam. Maka, penting bagi umat islam
untuk mengetahui arti ajaran-ajaran sufi atau pemahaman tentang
aliran sufi itu, agar dalam mengamalkan tepat pada sasaran yang sesuai dengan
kaidah agama, karena ajaran-ajaran sufi merupakan pemahaman agama yang
berdasarkan pada Al Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.
Sebenarnya benih-benih tasawuf sudah
ada sejak dalam kehidupan nabi Muhammad SAW.
Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah, dan perilaku nabi Muhammad SAW. Peristiwa dan perilaku hidup Nabi sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari beliau berkhalawat (mengasingkan diri) di Gua Hira, terutama pada bulan Ramadhan di sana nabi banyak berzikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengasingan diri Nabi SAW di gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalawat. Kemudian puncak kedekatan Nabi SAW dengan Allah SWT tercapai ketika melakukan Isra Mikraj. Di dalam Isra Mikraj itu nabi SAW telah sampai ke Sidratulmuntaha (tempat terakhir yang dicapai nabi ketika mikraj di langit ke tujuh), bahkan telah sampai kehadiran Ilahi dan sempat berdialog dengan Allah SWT. Dialog ini terjadi berulang kali, dimulai ketika nabi SAW menerima perintah dari Allah SWT tentang kewajiban shalat lima puluh kali dalam sehari semalam. Atas usul nabi Musa AS, Nabi Muhammad SAW memohon agar jumlahnya diringankan dengan alasan umatnya nanti tidak akan mampu melaksanakannya. Kemudian Nabi Muhammad SAW terus berdialog dengan Allah SWT. Keadaan demikian merupakan benih yang menumbuhkan sufisme dikemudian hari.
Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah, dan perilaku nabi Muhammad SAW. Peristiwa dan perilaku hidup Nabi sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari beliau berkhalawat (mengasingkan diri) di Gua Hira, terutama pada bulan Ramadhan di sana nabi banyak berzikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengasingan diri Nabi SAW di gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalawat. Kemudian puncak kedekatan Nabi SAW dengan Allah SWT tercapai ketika melakukan Isra Mikraj. Di dalam Isra Mikraj itu nabi SAW telah sampai ke Sidratulmuntaha (tempat terakhir yang dicapai nabi ketika mikraj di langit ke tujuh), bahkan telah sampai kehadiran Ilahi dan sempat berdialog dengan Allah SWT. Dialog ini terjadi berulang kali, dimulai ketika nabi SAW menerima perintah dari Allah SWT tentang kewajiban shalat lima puluh kali dalam sehari semalam. Atas usul nabi Musa AS, Nabi Muhammad SAW memohon agar jumlahnya diringankan dengan alasan umatnya nanti tidak akan mampu melaksanakannya. Kemudian Nabi Muhammad SAW terus berdialog dengan Allah SWT. Keadaan demikian merupakan benih yang menumbuhkan sufisme dikemudian hari.
Untuk lebih jelasnya tentang
memahami ajaran-ajaran sufi, kami akan mengulas lebih lanjut tentang
ajaran-ajaran sufi.
B.
KHAUF
WA ROJA’
1.
Pengertian
Khauf
Secara bahasa khauf adalah lawan
kata al-amnu. Al-Amnu adalah rasa aman, maka khauf berarti rasa takut. Secara
istilah khauf adalah pengetahuan yang dimiliki seorang hamba di dalam hatinya
tentang kebesaran dan keagungan Allah serta kepedihan siksa-Nya. Khauf (Takut)
adalah tempat persinggahan yang amat penting dan paling bermanfaat bagi hati.
Ini merupakan keharusan bagi setiap orang.
Firman Allah dalam QS. Ali Imran: 175:
فلا تخافوهم و خافون إن كنتم مؤمنين
“Karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Qs. Ali Imran: 175).
فلا تخافوهم و خافون إن كنتم مؤمنين
“Karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Qs. Ali Imran: 175).
2.
Sumber
Khauf
Khauf dapat
bersumber dari dua hal:
a.
Khauf
karena siksa
Manusia
megetahui bagaimana siksaan yang akan dia terima karena menentang Allah. Kesadaran
itulah yang mendorong manusia untuk tetap mematuhi peraturan Allah.
b.
Khauf
karena Cinta
Manusia
mengetahui bagaimana Allah dan sifat-sifatNya, PerbuatanNya, maka sampailah
manusia pada kecintaan kepada Allah.
3.
Macam-macam
Khauf
Takut
itu ada tiga macam:
a.
Khauf thabi’i seperti halnya orang takut hewan buas, takut
api, takut tenggelam, maka rasa takut semacam ini tidak membuat orangnya
dicela. Akan tetapi apabila rasa takut ini menjadi sebab dia meninggalkan
kewajiban atau melakukan yang diharamkan maka hal itu haram.
b.
Khauf ibadah yaitu seseorang merasa takut kepada sesuatu
sehingga membuatnya tunduk beribadah kepadanya maka yang seperti ini tidak
boleh ada kecuali ditujukan kepada Allah ta’ala. Adapun menujukannya kepada
selain Allah adalah syirik akbar.
c.
Khauf sirr seperti halnya orang takut kepada penghuni kubur
atau wali yang berada di kejauhan serta tidak bisa mendatangkan pengaruh
baginya akan tetapi dia merasa takut kepadanya maka para ulama pun menyebutnya
sebagai bagian dari syirik.
4.
Akibat
rasa takut
a.
Takut kepada
Allah adakalanya terpuji dan adapula yang tidak terpuji. Terpuji jika akhirnya
membawa seseorang bisa menghindar dari maksiat, mengerjakan yang wajib dan dan
meninggalkan yang haram.
b.
Jika takut
tersebut menghasilkan sikap seperti itu maka hati merasa tenang, tentram dan gembira dengan nikmat Allah serta berharap akan
pahalanya. Takut yang tidak terpuji
adalah yang akhirnya menyebabkan timbulnya putus asa terhadap rahmat Allah dan
patah semangat pada seseorang, sehingga
ia tenggelam dalam kesedihan atau bahkan dalam kemaksiatan karena keputusasaan
yang mendalam.
5.
Pengertian
Roja’
Roja’
adalah keinginan seorang insan untuk mendapatkan sesuatu baik dalam jangka
dekat maupun jangka panjang yang diposisikan seperti sesuatu yang bisa digapai
dalam jangka pendek. Secara bahasa raja’ berasal dari kata raja’a – yarji’u – raj’an
yang berarti mengharap dan pengharapan. Kata raja’an dalam Al-Quran disebutkan
misalnya dalam QS Albaqarah 2:218, yaitu:
¨bÎ) šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä
z`ƒÉ‹©9$#ur (#rãy_$yd
(#r߉yg»y_ur
’Îû È@‹Î6y™ «!$#
y7Í´¯»s9'ré&
tbqã_ötƒ |MyJômu‘
«!$#
4 ª!$#ur
Ö‘qàÿxî ÒO‹Ïm§‘ ÇËÊÑÈ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman,
orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan
rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Juga firman Allah
dalam QS Al ahzab: 21
ô‰s)©9 tb%x. öNä3s9
’Îû ÉAqß™u‘ «!$#
îouqó™é&
×puZ|¡ym
`yJÏj9
tb%x. (#qã_ötƒ ©!$#
tPöqu‹ø9$#ur
tÅzFy$#
tx.sŒur
©!$#
#ZŽÏVx.
ÇËÊÈ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. AL-Ahzab:21)
Dalam kedua ayat tersebut, raja’
(pengharapan) atas rahmat Allah dinyatakan oleh para mufassir begitu kuat
pengaruhnya bagi setiap orang yang beriman. Pengharapan itu menjadikan mereka
rela hijrah, meninggalkan segala kesenangan dan harta yang mereka telah miliki.
Mereka tidak berkebaratan mengadu nyawa dengan berjihad berperang melawan
musuh-musuh mereka.
Raja’ merupakan sikap optimis total.
Ibarat seorang pedagang yang rela mempertaruhkan seluruh modal usahanya karena
meyakini keuntungan besar yang bakal segera diraihnya. Ibarat seorang ‘pecinta’
yang rela memertaruhkan segala miliknya demi menggapai cinta kekasihnya. Dia
meyakini bahwa cintanya itulah bahagianya. Tanpanya, hidup ini tiada arti
baginya. Raja’ atau pengharapan yang demikian besar menjadikan seseorang hidup
dalam sebuah dunia tanpa kesedihan. Sebesar apa pun bahaya dan ancaman yang
datang tidak mampu menghapus senyum optimisme dari wajahnya.
Perbedaan raja’ (mengharap) dengan tamanny
(berangan-angan), bahwa berangan-angan itu disertai kemalasan, pelakunya tidak
pernah bersungguh-sungguh dan berusaha. Sedangkan mengharap itu disertai dengan
usaha dan tawakal.
6.
Macam-macam
Roja’
Raja’ itu ada
tiga macam, dua macam adalah raja’ yang terpuji dan yang yang satu adalah
tercela, yaitu:
a.
Harapan
seseorang agar dapat taat kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah, lalu dia
mengharap pahala-Nya.
b.
Seseorang
yang berbuat dosa lalu bertaubat dan mengharap ampunan Allah, kemurahan dan
kasih sayang-Nya.
c.
Orang
yang melakukan kesalahan dan mengharap rahmat Allah tanpa disertai usaha. Ini
sesuatu yang menipu dan harapan yang dusta.
C.
HUBUNGAN
KHAUF WA ROJA’
Baik Khauf maupun raja` merupakan
dua ibadah yang sangat agung. Bila keduanya menyatu dalam diri seorang mukmin,
maka seluruh aktivitas kehidupannya akan menjadi seimbang. Dengan khauf akan
membawa diri seseorang untuk selalu melaksanakan ketaatan dan menjauhi perkara
yang diharamkan; dengan raja` akan menghantarkan dirinya untuk selalu mengharap
apa yang ada disisi Allah SWT.
Pendek kata, dengan khauf dan raja`
seorang mukmin akan selalu ingat bahwa dirinya akan kembali ke hadapan Sang
Penciptanya, di samping ia akan bersemangat memperbanyak amalan-amalan.Kedua sikap di atas harus
dimiliki oleh seorang mukmin. Sikap ini menjadi ciri mukmin yang baik yang bisa
menempatkan diri kapan ia harus berada pada posisi khauf dan kapan ia mesti
berada pada posisi roja’.
Namun, Sayid Alwi bin Abbas Al
Maliki menyatakan, “Bagi seorang pemuda ia lebih baik mengutamakan sikap
al-khauf sebab nafsu syahwat di masa muda jauh lebih besar yang dikhawatirkan
dapat menyeret pada perbuatan buruk jika tidak mengutamakan sikap tersebut.”
D.
PERANAN
KHAUF WA ROJA’
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah mengatakan: “Ketahuilah sesungguhnya penggerak hati menuju Allah
‘azza wa jalla ada tiga: Al-Mahabbah (cinta), Al-Khauf (takut) dan Ar-Rajaa’
(harap). Rasa takut nantinya akan lenyap di akhirat (bagi orang yang masuk
surga). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ketahuilah, sesungguhnya para
wali Allah itu tidak ada rasa takut dan sedih yang akan menyertai mereka.” (QS.
Yunus: 62) Sedangkan rasa takut yang diharapkan adalah yang bisa menahan dan
mencegah supaya (hamba) tidak melenceng dari jalan kebenaran. Adanya rasa takut
akan membantunya untuk tidak keluar dari jalan menuju sosok yang dicintainya,
dan rasa harap akan menjadi pemacu perjalanannya.
Khauf dan roja’ saling beriringan
satu sama lain sehingga seorang hamba berada dalam keadaan takut kepada Allah
‘azza wa jalla dan khawatir tertimpa siksa-Nya serta mengharapkan curahan
rahmat-Nya. Apabila seorang insan tidak merasa takut kepada Allah maka dia akan
memperturutkan hawa nafsunya. Terlebih lagi apabila dia sedang menginginkan
sesuatu yang gagal diraihnya. Karena nafsunya menuntutnya memperoleh sesuatu
yang bisa menyenangkan diri serta menyingkirkan gundah gulana dan kesedihannya.
y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# šcqããô‰tƒ šcqäótGö6tƒ 4’n<Î) ÞOÎgÎn/u‘ s's#‹Å™uqø9$# öNåkš‰r& Ü>tø%r& tbqã_ötƒur ¼çmtGyJômu‘ šcqèù$sƒs†ur ÿ¼çmt/#x‹tã 4 ¨bÎ) z>#x‹tã y7În/u‘ tb%x. #Y‘rä‹øtxC ÇÎÐÈ
“Orang-orang yang diseru oleh mereka itu
justru mencari jalan perantara menuju Rabb mereka siapakah di antara mereka
yang bisa menjadi orang paling dekat kepada-Nya, mereka mengharapkan rahmat-Nya
dan merasa takut dari siksa-Nya.” (QS. al-Israa’: 57)
Allah menceritakan kepada kita
melalui ayat yang mulia ini bahwa sesembahan yang dipuja selain Allah oleh kaum
musyrikin yaitu para malaikat dan orang-orang shalih mereka sendiri mencari
kedekatan diri kepada Allah dengan melakukan ketaatan dan ibadah, mereka melaksanakan
perintah-perintah-Nya dengan diiringi harapan terhadap rahmat-Nya dan mereka
menjauhi larangan-larangan-Nya dengan diiringi rasa takut tertimpa azab-Nya
karena setiap orang yang beriman tentu akan merasa khawatir dan takut tertimpa
hukuman-Nya. Allah ta’ala berfirman
$yJ¯RÎ) ãNä3Ï9ºsŒ ß`»sÜø‹¤±9$# ß$Èhqsƒä† ¼çnuä!$uŠÏ9÷rr& Ÿxsù öNèdqèù$y‚s? Èbqèù%s{ur bÎ) LäêZä. tûüÏZÏB÷s•B ÇÊÐÎÈ
“Maka janganlah kalian takut kepada mereka
(wali setan), dan takutlah kepada-Ku, jika kalian beriman.” (QS. Ali ‘Imran:
175)
Di dalam ayat ini Allah menerangkan
bahwa orang-orang yang beriman tidak boleh merasa takut kepada para wali
syaithan dan juga tidak boleh takut kepada manusia sebagaimana Allah ta’ala
nyatakan, “Janganlah kamu takut kepada manusia dan takutlah kepada-Ku.” (QS.
al-Maa’idah: 44) Rasa takut kepada Allah diperintahkan sedangkan takut kepada
wali syaithan adalah sesuatu yang terlarang.
Dasar
utama khauf adalah kelembutan hati dan bergetarlah anggota badan ketika
berdzikir kepada Allah. Sebagaimana firman Allah SWT:
ô‰s)s9ur $oY÷s?#uä Óy›qãB |=»tFÅ6ø9$# Ÿxsù `ä3s? ’Îû 7ptƒóÉD `ÏiB ¾Ïmͬ!$s)Ïj9 ( çm»oYù=yèy_ur “W‰èd ûÓÍ_t6Ïj9 Ÿ@ƒÏäÂuŽó Î) ÇËÌÈ
Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik
(yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar
karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang
kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan
kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya dan Barangsiapa yang
disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun (QS. As-Sajadah:23).
E.
KESIMPULAN
Roja’ adalah mengharap sesuatu kepada Allah SWT disertai dengan usaha
sungguh-sungguh. Roja’ itu ada tiga macam, dua macam adalah raja’ yang terpuji
dan yang yang satu adalah tercela, yaitu: (1)Harapan seseorang agar dapat taat
kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah, lalu dia mengharap pahala-Nya. (2)Seseorang
yang berbuat dosa lalu bertaubat dan mengharap ampunan Allah, kemurahan dan
kasih sayang-Nya. (3)Orang yang melakukan kesalahan dan mengharap rahmat Allah
tanpa disertai usaha. Ini sesuatu yang menipu dan harapan yang dusta.
Khauf adalah pengetahuan yang
dimiliki seorang hamba di dalam hatinya tentang kebesaran dan keagungan Allah
serta kepedihan siksa-Nya. Khauf ada 3, yaitu: (1)Khauf thabi’i seperti halnya orang
takut hewan buas, takut api, takut tenggelam, maka rasa takut semacam ini tidak
membuat orangnya dicela, akan tetapi apabila rasa takut ini menjadi sebab dia
meninggalkan kewajiban atau melakukan yang diharamkan maka hal itu haram. (2)Khauf
ibadah yaitu seseorang merasa takut kepada sesuatu sehingga membuatnya tunduk
beribadah kepadanya maka yang seperti ini tidak boleh ada kecuali ditujukan
kepada Allah ta’ala. Adapun menujukannya kepada selain Allah adalah syirik
akbar. (3)Khauf
sirr seperti halnya orang takut kepada penghuni kubur atau wali yang berada di
kejauhan serta tidak bisa mendatangkan pengaruh baginya akan tetapi dia merasa
takut kepadanya maka para ulama pun menyebutnya sebagai bagian dari syirik.
DAFTAR PUSTAKA
Abbudin Nata.
2006. Akhlak Tasaawuf. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Abudin Nata.
1993. Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf. Jakarta:Rajawali Press.
Hamka. 1984. Tasawuf
Perkembangan dan Pemurnianya. Jakarta:PT Pustaka Panjimas.
Mustofa.1997. Akhlak
Tasawuf. Bandung : CV Pustaka Setia.
Syukur, Amin.
2006. Tasawuf Bagi Orang Awam. Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Sultoni, Ahmad.
2007. Sang Maha-Segalanya Mencintai Sang Maha-Siswa. Surabaya:PT.
Temprina Media Grafika.
0 comments