Undangan Ngobrol Santai, Tapi Ternyata Somasi Loh!

Beberapa hari yang lalu aku memposting melalui status Whatsapp, buah fikiran aku tentang evaluasi Penyuluh Agama Islam dalam narasi-narasi kritik. Responnya berbeda-beda, tentu jadi pro-kontra. Mungkin karena aku jarang bikin status, atau biasanya postinganku candaan doang, atau karena secara tajam mengupload autokritik. (Narasinya aku posting sebelumnya di blog ini.)

Kembali ke respon. Diantara respon yang aku terima, Statusnya kenapa?; Galak sekali; Apa nggak bahaya?; Kesurupan; Makan dulu; Kurang ngopi; Jangan dipikirin yang berat-berat. Ini aku sebut respon yang aku harapkan. 

Diantaranya lagi menguatkan apa yang sedang aku sampaikan. "Iya, ditempatku juga masih banyak yang kayak gitu." Kugali lebih dalam tentang minusnya, sehingga kudapati keterangan-keterangan yang lebih tajam dari narasi kritikku. 

Beberapa ada juga yang menjelaskan bahwa tidak semua.  "Aku nggak hlo ya. Bahkan aku juga sibuk bantuin kerjaan-kerjaan lain di Kantor."  Buru-buru aku jelaskan, "tentu tidak semua." Aku tau kamu keren. Beberapa mereka yang keren juga aku lihat dari event perlombaan Penyuluh Award/Penyuluh Teladan. 

Setidaknya ada juga respon unik yang aku terima. Satu orang mengatakan, "Aku sebarin ke grup-grup ya." Di sore harinya pun kembali mengabarkan, "Provokasi berhasil." Kemudian ada satu orang lagi yang mengirimkan kalimat penentangan kritik disertai ancaman pelaporan ke jalur hukum dengan dasar UU ITE. Seperti ini kalimat yang dikirimkan secara japri ke aku. 

"Jika kami mau, mungkin bisa diadukan ke ranah hukum-UU ITE, kami tunggu tabayyun mba Lia. Perbuatan mba Lia sama saja dg membuka borok atasan sendiri, knp? Anak buah salah, maka atasan yg dipersalahkan dan bertanggung jawab sesuai regulasi. Semoga bisa jadi introspeksi, ditunggu niat baiknya." 

Sehari setelahnya, aku menerima tawaran ngobrol dari PP IPARI, organisasi profesi jabfung Penyuluh Agama yang sedang menunggu pengesahan SK-nya. Aku menyanggupi dan menentukan hari untuk ngobrol secara terbatas dengan para pengurus. 

Kemudian, aku menerima surat ber-KOP PP IPARI, dengan tambahan pesan, "santai saja." Surat undangan aku terima dengan tajuk "Dialog Klarifikasi." 

Setelah menerima surat pun aku menganalisa tajuk yang dipakai dalam surat tersebut. Aku berfikir, jadi ini kegiatan dialog, ngobrol, atau klarifikasi. Kalau dialog berarti akan ada output diskusi berupa gambaran-gambaran kinerja atau perjuangan hebat yang tidak aku ketahui sebelumnya. 

Sedangkan untuk penggunaan kata klarifikasi, aku mengenal di dunia hukum Pemilu, yang mana klarifikasi adalah proses lanjutan yang dilakukan setelah melewati proses registrasi. Dimana sudah dilakukan verifikasi atas keterpenuhan syarat formil dan materiil suatu perbuatan hukum, sehingga klarifikasi mengarah pada pengambilan keterangan atas dugaan kuat telah terjadi penyimpangan. 

Karena tajuknya ada 2 kata, jadi aku memutuskan untuk membawa kegiatan ini menjadi dialog santai.

Jumat jam 14.15 WIB, aku diberikan kesempatan untuk menyampaikan sesuatu. Aku mulai dengan menjelaskan bahwa status itu adalah kumpulan buah fikiran sebagai evaluasi atas data yang tersedia, keterangan yang didengarkan dan yang dilihat dari beberapa kunjungan kerjaku.

Lalu... di tengah waktu diskusi, muncul sosok yang secara tegas menuntut permintaan maaf. Yups, asumsiku yang kedua tentang undangan kegiatan ini pun terbukti. Langsung terbersit fikiran, mestinya surat ini bertajuk Somasi dengan permintaan klarifikasi dan permohonan maaf.

Banyak diantara pengurus-pengurus itu yang kayaknya sudah saling kenal sama aku. Tapi setiap ketemu palingan say hay doang, dan nggak pernah ngobrol. Mungkin karena aku cuma staf paling junior dan biasanya berkutat sama komputer doang. 

Aku sebenernya masih pengen ngomong. Tapi karena sejak awal aku diundang untuk dipersalahkan, jadi kayaknya sebagian besar orang di kegiatan ini cuma nunggu permohonan maafku saja. Bahkan ada yang mengomentari mukaku, dengan menulis di kolom chat bahwa muka Lia ini nyebeli sekali dalam kegiatan ini dan sikapnya tidak baik. Kurang lebih seperti itu. 

Aku pun merespon maki-makian atas pembawaan mukaku itu dengan penjelasan, bahwa untuk menghadiri undangan yang akan mempersalahkan secara ramai-ramai ini, aku menyiapkan berbagai materi. Soal asumsi-asumsi tentang tajuk yang diambil dalam undangan ini pun mempengaruhi kesiapan diri ku ya. 

Begitulah kegiatan emosional ini terlaksana hingga selesai dalam waktu 2 jam. 

Oh iya, ada yang menarik, karena diantara 22 orang yang hadir. Setidaknya ada 2 orang tulus yang mendukung psikologisku di tengah-tengah para tetua yang balik menyerang kritikku secara brutal. (Ga semua brutal- 4 orang aja, lainnya mungkin ngomong dibelakang karena keterbatasan waktu) 

Hadir tanpa undangan dan tanpa konfirmasi sebelumnya, satu teman di bagianku. Terima kasih Broku. 

Ada juga satu pengurus PP IPARI yang mengirimkan pesan sebelum kegiatan itu berlangsung. "Mbak lia sabar dan semangat yaaa ngezoomnya, semoga membawa kebaikan ke depan." Kemudian di akhir kegiatan pun kembali mengirim pesan, "Tetap semangat, begitulah dinamika penyuluh, jangan lelah membersamai y mbak lia... Dalam beberapa hal sy setuju dg mbak lia dan merasakan sendiri... Sy mau urun pendapat tp kayaknya gak dikasih ksmpatan, gak cukup waktu. Keep spirit ya." Kemudian saya pun menjawabnya dengan serius, "Karena saya aja yang menyampaikan bu." Kemudian dibalas lagi oleh beliau, "Krn junior... Masih jomblo lg."

Tapi saya dengan tulus, minta maaf juga kepada semua senior-senior atas kata-kata tajam saya. Mohon maaf sudah menguras emosi dengan begitu besar kemarahan yang tidak terbendungkan. 

Menjadi ma'lum kan, kalau setelah kegiatan itu aku ingin -untuk secara pribadi- tidak menjalin interaksi dengan orang yang terang-terangan memaki-maki sikap saya pada kegiatan tersebut. Utamanya dengan beberapa orang yang secara jelas menyebutkan, Lia ga punya attitute. Seingat saya ada 2 orang dari Jakarta, 1 orang dari NTB, ada 2 lagi saya lupa.

***









0 komentar