Bimbingan Perkawinan Sebagai Syarat Pencatatan Pernikahan : Analisis dan Evaluasi Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan
sumber : freepik.com |
BAB I : PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bimbingan Perkawinan (Bimwin) adalah salah satu instrumen penting dalam proses pencatatan nikah di Indonesia. Tujuannya adalah memberikan pembekalan kepada calon pengantin (catin) mengenai perencanaan, pengetahuan, dan keterampilan mengelola kehidupan keluarga; reproduksi sehat; serta dinamika perkawinan dan keluarga, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2). Dalam implementasinya, posisi Bimwin dalam pencatatan nikah menimbulkan sejumlah persoalan. Sertifikat Bimwin yang menjadi syarat materiil dapat memberatkan catin dengan keterbatasan waktu. Saat ini, prosedur Bimwin terdiri dari tiga metode: tatap muka, virtual, dan mandiri. Metode tatap muka berlangsung dua hari dengan 10 jam pelajaran dalam 5 sesi. Metode virtual dilaksanakan dua hingga lima hari, sesuai kesepakatan. Metode mandiri memiliki fleksibilitas jadwal, dapat dilakukan di hari kerja, secara perorangan atau berpasangan. Namun, ketiga metode ini tetap membutuhkan total waktu 10 jam pelajaran, yang cukup panjang bagi catin dengan keterbatasan waktu. Untuk menjamin efektivitas hukum di lapangan, norma dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan perlu diperbaiki. Oleh karena itu, dilakukan analisis dan evaluasi terhadap ketentuan Bimbingan Perkawinan sebagai syarat pencatatan pernikahan.
Permasalahan
1. Bagaimana politik hukum penetapan bimbingan perkawinan sebagai syarat pencatatan pernikahan pasangan muslim pada Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan?
2. Apa saja yang menjadi isu krusial penetapan bimbingan perkawinan sebagai syarat pencatatan pernikahan pasangan muslim pada Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan?
3. Bagaimana hasil analisis dan evaluasi terhadap penetapan bimbingan perkawinan sebagai syarat pencatatan pernikahan pasangan muslim pada Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan?
Tujuan
1. Menjelaskan politik hukum penetapan bimbingan perkawinan sebagai syarat pencatatan pernikahan pasangan muslim pada Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan.
2. Merumuskan isu krusial penetapan bimbingan perkawinan sebagai syarat pencatatan pernikahan pasangan muslim pada Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan.
3. Menguraikan hasil analisis dan evaluasi terhadap penetapan bimbingan perkawinan sebagai syarat pencatatan pernikahan pasangan muslim pada Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan.
Ruang Lingkup Analisis dan Evaluasi
Untuk menjawab permasalahan di atas, makar uang lingkup analisis dan evaluasi yang dilakukan adalah melakukan analisis dan evaluasi terhadap Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan berkaitan dengan penetapan bimbingan perkawinan sebagai syarat pencatatan pernikahan pasangan muslim.
Metode Evaluasi
Dalam melakukan analisis dan evaluasi produk hukum dimaksud, dilaksanakan dengan menggunakan metode Analisis dan Evaluasi terhadap Peraturan Perundang-Undangan yang mendasarkan pada Pedoman Analisis dan evaluasi Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI Nomor PHN-01.HN.01.03 Tahun 2019.
Terdapat beberapa dimensi sebagai alat yang digunakan dalam menganalisis dan mengevaluasi peraturan perundang-undangan tersebut yaitu:
1. Dimensi Pancasila
2. Dimensi Ketepatan Jenis Peraturan Perundang-Undangan
3. Dimensi Disharmoni Pengaturan
4. Dimensi Kejelasan Rumusan
5. Dimensi Kesesuaian Asas Bidang Hukum Peraturan Perundang-Undangan yang Bersangkutan
6. Dimensi Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan
BAB II : PEMBAHASAN
Politik Hukum
Penetapan Bimbingan Perkawinan (Bimwin) sebagai syarat pencatatan pernikahan mencerminkan keinginan negara untuk meningkatkan kualitas kehidupan pernikahan serta membentuk keluarga yang lebih stabil dan sejahtera, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Penetapan ini diambil dengan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat modern yang semakin kompleks, yang ditandai dengan tingginya angka perceraian dan masalah keluarga. Dalam perspektif politik hukum, Bimwin dipandang sebagai instrumen untuk mempersiapkan calon pengantin dalam menjalani kehidupan rumah tangga dengan lebih baik, baik secara mental, spiritual, maupun pengetahuan praktis terkait hak dan kewajiban suami istri. Meski demikian, pengaturan ini menghadapi tantangan dari segi implementasi, di mana keberadaan Bimwin sebagai syarat berpotensi memperpanjang proses administratif dan menambah beban bagi calon pengantin, terutama dalam hal waktu dan biaya. Oleh karena itu, analisis terhadap politik hukum Bimwin perlu mempertimbangkan aspek keseimbangan antara tujuan yang ingin dicapai—yakni pernikahan yang berkualitas dan tahan lama—dengan perlunya memastikan akses yang adil dan mudah terhadap layanan pencatatan pernikahan, tanpa menghambat hak calon pengantin.
Isu Krusial
1. Kejelasan Rumusan
Dimensi kejelasan rumusan merujuk pada seberapa jelas suatu ketentuan hukum disusun agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di lapangan. Dalam hal ini, posisi Bimbingan Perkawinan (Bimwin) sebagai syarat pencatatan nikah menimbulkan sejumlah ketidakjelasan yang perlu dianalisis lebih lanjut.
Pertama, Pasal 5 ayat (1), kewajiban mengikuti Bimwin muncul setelah pendaftaran kehendak nikah selesai, sehingga menjadi langkah lanjutan. Keikutsertaan bimwin dibuktikan dengan dokumen sertifikat sebagaimana Pasal 5 ayat (3). Ini menunjukkan bahwa Bimwin tidak termasuk dalam syarat formil yang harus dipenuhi pada tahap awal pendaftaran kehendak nikah. Dimana, ketentuan dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Agama Nomor 22 Tahun 2024 tidak mencantumkan sertifikat Bimwin sebagai syarat yang harus dilampirkan pada tahap pendaftaran kehendak nikah.
Pasal 6 menyatakan bahwa sertifikat Bimwin diperiksa oleh Penghulu atau Pengawas Nikah sebagai bagian dari kelengkapan dokumen pada tahap pemeriksaan nikah. Hal ini menempatkan Bimwin sebagai syarat materiil yang harus dipenuhi untuk melanjutkan proses pencatatan nikah. Syarat materiil umumnya berkaitan dengan aspek substansi pernikahan, seperti sahnya akad nikah dan tidak adanya halangan untuk menikah. Namun, sertifikat Bimwin adalah dokumen administratif, sehingga penempatannya sebagai syarat materiil menimbulkan inkonsistensi dengan teori hukum yang membedakan antara syarat formil dan materiil.
Kejelasan rumusan juga dipengaruhi oleh ketentuan mengenai konsekuensi hukum jika syarat tidak terpenuhi. Dalam Pasal 7 ayat (1-2), disebutkan bahwa jika dokumen belum lengkap, termasuk sertifikat Bimwin, calon pengantin diberi kesempatan untuk melengkapinya paling lambat 1 hari sebelum akad nikah. Sementara itu, Pasal 8 ayat (1-2) menyatakan bahwa jika syarat materiil tidak terpenuhi, kehendak nikah dapat ditolak. Ketentuan ini menciptakan ambiguitas karena Bimwin diposisikan sebagai syarat materiil, tetapi konsekuensinya lebih mirip dengan syarat formil yang dapat dilengkapi kemudian.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan penajaman rumusan agar posisi Bimwin dalam tahapan pencatatan nikah lebih jelas. Misalnya, perlu ditegaskan bahwa Bimwin merupakan syarat formil yang harus dipenuhi sebelum pendaftaran kehendak nikah, atau jika tetap diposisikan sebagai syarat materiil, maka perlu diatur mekanisme yang lebih fleksibel terkait pelaksanaannya agar tidak memberatkan calon pengantin.
Kemudian, Pasal 38 Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 mengatur tentang penyerahan Buku Nikah dan Kartu Nikah kepada pasangan suami istri setelah pelaksanaan akad nikah. Adapun terkait penyerahan Buku Nikah, Pasal 38 mengatur bahwa penyerahan dapat ditunda paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal akad nikah, dengan alasan tertentu. Namun, regulasi ini tidak menjelaskan secara eksplisit apa yang dimaksud dengan "alasan tertentu." Ketentuan ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian dan interpretasi yang berbeda-beda di lapangan. Oleh karena itu, diperlukan penjelasan spesifik terkait dengan klausul "alasan tertentu" agar regulasi dapat diimplementasikan secara konsisten dan jelas.
2. Kesesuaian Norma dengan Asas Materi Muatan
Analisis pada dimensi ini dilakukan untuk menilai apakah ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut telah mencerminkan makna yang terkandung dari asas materi muatan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini asas-asas tertentu, sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
a. Asas Kepastian
Asas kepastian dalam peraturan perundang-undangan bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat agar aturan tersebut dapat diprediksi dan tidak menimbulkan ketidakpastian. Dalam konteks Bimwin, asas kepastian perlu diperhatikan dengan memastikan bahwa prosedur, durasi, dan kewajiban Bimwin dirumuskan dengan jelas dan tidak menimbulkan ambiguitas bagi calon pengantin, seperti yang saat ini terjadi dengan ketentuan "alasan tertentu" dalam penyerahan Buku Nikah.
Asas kepastian juga berhubungan dengan durasi dan waktu pelaksanaan Bimwin yang saat ini diatur selama 10 jam dengan 5 sesi. Ketentuan ini dapat menimbulkan ketidakpastian bagi calon pengantin yang memiliki keterbatasan waktu karena tidak dijelaskan secara rinci apakah ada fleksibilitas dalam durasi tersebut, misalnya untuk kondisi khusus atau alasan mendesak. Oleh karena itu, norma hukum harus memberikan kepastian tentang alternatif yang tersedia jika calon pengantin tidak dapat memenuhi ketentuan durasi waktu tersebut.
Dengan kata lain, ketidakjelasan atau ketidakpastian mengenai tata cara, durasi, maupun urutan kewajiban dalam pelaksanaan Bimwin menunjukkan adanya pelanggaran terhadap asas kepastian, yang seharusnya dipenuhi oleh peraturan perundang-undangan untuk memberikan jaminan hukum yang jelas bagi masyarakat.
b. Asas Pelayanan yang Baik
Asas ini mengharuskan pelaksanaan norma hukum memberikan pelayanan yang efektif, efisien, transparan, dan tidak memberatkan masyarakat. Dalam konteks Bimwin, aspek Hukum Administrasi Negara muncul karena adanya tindakan administratif, seperti keterangan tertulis terkait penolakan kehendak nikah oleh Kepala KUA (Pasal 8 ayat (1)). Penolakan ini terjadi jika syarat, seperti mengikuti Bimwin, tidak terpenuhi. Oleh karena itu, Bimwin juga melibatkan elemen Hukum Administrasi Negara terkait pelayanan publik oleh KUA.
Pelaksanaan Bimwin harus mempertimbangkan kenyamanan calon pengantin, dengan pengaturan prosedur, jadwal, dan durasi yang jelas dan fleksibel. Misalnya, opsi bimbingan online atau mandiri dapat membantu calon pengantin yang memiliki keterbatasan waktu. Selain itu, ketersediaan fasilitator yang kompeten dan memadai perlu dipastikan agar pelayanan merata di seluruh wilayah.
3. Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Perundang-Undangan
Dimensi efektivitas dalam implementasi Bimbingan Perkawinan (Bimwin) perlu dipertimbangkan dari beberapa aspek hukum yang berpengaruh terhadap keberhasilan penerapan peraturan di lapangan. Analisis ini menyoroti apakah peraturan yang ada sudah dapat diimplementasikan dengan baik dan mencapai tujuan hukum yang diharapkan. Berdasarkan analisis SWOT yang telah dilakukan terhadap kesiapan infrastruktur program Bimwin, beberapa aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam menilai efektivitas peraturan terkait Bimwin adalah sebagai berikut:
a. Aspek Operasional atau Tidaknya Peraturan
Pada aspek operasional, terlihat bahwa ketentuan Bimwin belum dapat dilaksanakan secara efektif di lapangan. Pengaturan yang ada, terutama terkait metode pelaksanaan yang membutuhkan total waktu 10 jam, dirasakan memberatkan calon pengantin yang memiliki keterbatasan waktu. Meskipun terdapat fleksibilitas metode pelaksanaan (tatap muka, virtual, dan mandiri), durasi waktu yang panjang menjadi kendala operasional, sehingga peraturan ini belum bisa diterapkan dengan baik untuk semua kondisi calon pengantin.
Selain itu, analisis SWOT juga mengidentifikasi keterbatasan jumlah tenaga fasilitator di beberapa wilayah dan kendala infrastruktur yang menyebabkan implementasi Bimwin tidak optimal. Keterbatasan ini menunjukkan bahwa peraturan yang ada masih menghadapi tantangan dalam hal kesiapan operasional di lapangan.
b. Aspek Sumber Daya Manusia (SDM)
Efektivitas implementasi Bimwin sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM). Saat ini, jumlah fasilitator di beberapa daerah masih terbatas sehingga tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pelaksanaan Bimwin secara merata. Berdasarkan hasil analisis SWOT, terdapat 4.513 fasilitator yang tersebar di 2.808 Kantor Urusan Agama (KUA). Namun, beban kerja fasilitator belum diatur secara proporsional, di mana satu fasilitator dapat bertanggung jawab untuk lebih dari satu KUA. Walaupun jumlah fasilitator hampir mencakup seluruh KUA yang ada, yaitu 5.917 KUA, pembagian beban kerja yang tidak merata berpotensi menghambat pelayanan yang optimal. Selain itu, kompetensi fasilitator juga belum merata di seluruh wilayah, yang berdampak pada kualitas pembekalan yang diterima oleh calon pengantin. Oleh karena itu, aspek SDM dalam implementasi Bimwin masih perlu ditingkatkan, baik dari segi jumlah maupun kualitas fasilitator untuk mendukung penerapan peraturan secara efektif.
c. Aspek Partisipasi Masyarakat
Aspek partisipasi masyarakat dalam implementasi Bimwin sangat penting untuk menjamin keberhasilan penerapan peraturan. Partisipasi masyarakat dalam hal ini mencakup keterlibatan calon pengantin dan pihak-pihak terkait dalam mengikuti proses Bimwin. Berdasarkan analisis SWOT, ditemukan bahwa rendahnya sosialisasi mengenai kewajiban mengikuti Bimwin menyebabkan calon pengantin tidak memiliki persiapan yang cukup, baik dari segi waktu maupun kesadaran akan pentingnya mengikuti bimbingan tersebut. Oleh karena itu, partisipasi aktif masyarakat dan terbukanya akses informasi perlu ditingkatkan agar calon pengantin lebih siap dan termotivasi untuk mengikuti Bimwin.
d. Aspek Standar Operasional Pelaksana (SOP)
Ketersediaan standar operasional pelaksana (SOP) yang jelas, lengkap, dan benar-benar diterapkan merupakan faktor penting dalam menilai efektivitas implementasi Bimwin. Saat ini, SOP yang mengatur pelaksanaan Bimwin sudah ada, namun penerapannya di lapangan belum konsisten. Analisis SWOT menunjukkan bahwa rendahnya kepatuhan petugas terhadap SOP mengakibatkan ketidaksesuaian dalam pelaksanaan Bimwin di berbagai daerah. Beberapa daerah belum menerapkan SOP secara optimal, sehingga menimbulkan perbedaan dalam pelaksanaan Bimwin antarwilayah. Ketidakseragaman ini berdampak pada kualitas pelaksanaan dan keadilan dalam penerapan peraturan.
e. Aspek Pelayanan dan Batasan Waktu
Penentuan standar pelayanan minimum (SPM) merupakan aspek penting dalam menilai efektivitas pelaksanaan Bimwin. Durasi waktu Bimwin yang saat ini mencapai 10 jam dengan 5 sesi perlu dikurangi agar lebih efisien, namun tetap memenuhi esensi materi.
BAB III: PENUTUP
Kesimpulan
Politik hukum penetapan Bimbingan Perkawinan (Bimwin) sebagai syarat pencatatan pernikahan pasangan muslim pada Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 mencerminkan upaya negara untuk meningkatkan kualitas pernikahan serta membentuk keluarga yang stabil dan sejahtera. Kebijakan ini diambil dengan mempertimbangkan tingginya angka perceraian dan tantangan keluarga modern. Namun, terdapat beberapa ketidakjelasan dalam implementasi Bimwin yang perlu diselesaikan agar aturan ini efektif dan tidak memberatkan calon pengantin.
Terdapat tiga isu krusial dalam penetapan Bimwin sebagai syarat pencatatan nikah, yaitu: (1) posisi Bimwin sebagai syarat materiil dalam prosedur pencatatan nikah, yang apabila tidak terpenuhi maka kehendak nikah dapat ditolak, (2) durasi dan prosedur Bimwin yang cukup panjang yang menjadi beban bagi calon pengantin dengan keterbatasan waktu, serta (3) jaminan terhadap asas kepastian hukum dan pelayanan yang baik bagi masyarakat dalam implementasi ketentuan bimwin sebagai syarat pencatatan pernikahan.
Hasil analisis dan evaluasi menunjukkan bahwa penetapan Bimwin sebagai syarat pencatatan pernikahan memerlukan perbaikan agar dapat diimplementasikan secara efektif dan efisien. Norma yang ada harus disesuaikan untuk memberikan kepastian hukum dan pelayanan yang baik, termasuk penajaman rumusan, penyempurnaan SOP, fleksibilitas dalam pelaksanaan, serta peningkatan sumber daya manusia yang mendukung pelaksanaan Bimwin.
Rekomendasi
Penyesuaian Rumusan Norma dalam PMA: Diperlukan penyesuaian rumusan mengenai posisi Bimwin dalam prosedur pencatatan nikah agar lebih jelas, baik sebagai syarat formil sebelum pendaftaran kehendak nikah maupun sebagai syarat materiil yang dapat dilengkapi setelah pendaftaran. Rumusan ini harus dibuat sedemikian rupa agar tidak menimbulkan ambiguitas dalam implementasi.
Penyusunan Juknis Pelaksanaan Regulasi yang Fleksibel dan Memenuhi Asas Pelayanan yang Baik: Penyusunan petunjuk teknis (juknis) pelaksanaan regulasi Bimwin perlu dilakukan agar lebih fleksibel dan tidak memberatkan calon pengantin. Juknis tersebut harus mempertimbangkan metode bimbingan yang variatif, seperti bimbingan mandiri atau online, untuk mengurangi beban administratif dan memberikan kenyamanan bagi calon pengantin, serta memastikan pelayanan yang baik dan merata di seluruh wilayah.
Demikian kajian ini di susun sebagai bahan evaluasi dan rekomendasi dalam mendukung pelaksanaan Program. Mohon arahan lebih lanjut.
Jakarta, 07 Januari 2024
Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis
Oleh : Lia Wardah Nadhifah
0 comments