Ketentuan Hukuman Mati dalam UU Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP, UU Nomor 1 Tahun 2023 Tentang KUHP, dan Hukum Islam


 

UU Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP

Eksistensi pidana mati di Indonesia merupakan persoalan yang sangat kompleks, di samping merupakan persoalan budaya dan religi, pidana mati juga bersifat politis. Secara substansial, hukuman mati itu merupakan salah satu bentuk sanksi yang diberlakukan pada pelanggar hukum, khususnya palanggaran berat. Hukuman mati dikenal dengan suatu bentuk hukuman yang kejam dan tidak kenal ampun. Sebenarnya tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan-kejahatan yang berat dan pidana mati dalam sejarah hukum pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan yang berkaitan erat. Hal ini nampak dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatan-kejahatan berat dengan pidana mati. Berdasarkan pada ketentuan yang ada pada KUHP menyangkut tentang macam sanksi pidana atau jenis pemidanaan hanya terdapat 2 macam hukuman pidana sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 10 KUHP.

Pidana mati telah tercantum sebagai pidana pokok sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 10 dari KUHP. Di Indonesia pidana mati terjadi pro dan kontra, melihat dari hasil penelitian lembaga internasional seperti Amnesti Internasional bahwa beberapa negara tidak lagi menjatuhkan pidana mati dan menghapus pidana mati dalam kurun waktu 10 tahun.

Mengenai waktu berlakunya hukum pidana merupakan pembatas antara perbuatan yang dilakukan dengan hukum yang berlaku. Mengenai hal ini telah diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengatur bahwa "Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada terlebih dulu" Pasal 1 ayat (1) dalam KUHP yang disahkan tahun 2022 menjadi UU dinyatakan bahwa "Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/ atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan" Pada prinsipnya dikatakan tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana apabila tidak ditentukan dahulu dalam UU, prinsip ini dikenal dengan asas legalitas dalam hukum pidana. Asas legalitas dapat dianggap sebagai asas mengenai sumber hukum dan sebagai rang berlakunya hukum pidana menurut waktu.

Legalitas hukuman mati di Indonesia diperkuat dengan lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 atas pengujian UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, tanggal 30 Oktober 2007 yang menolak uji materi hukuman mati dengan alasan :

a.      Hukuman mati tidak bertentangan dengan hak hidup yang dijamin UUD 1945 karena jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 tidak menganut kemutlakan, mesti dimaknai untuk menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Dengan demikian menurut Mahkamah Konstitusi, hak asasi manusia harus dibatasi dengan instumen UU, yakni hak untuk hidup tidak boleh dikurangi, kecuali diputuskan oleh pengadilan (Pasal 69 dan Pasal 73 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia)

b.     Berbagai instrumen hukum internasional menunjukkan bahwa pemberlakuan pidana mati atau penghilangan nyawa dibenarkan sepanjang memenuhi persyaratan atau pembatasan yang ditentukan. Artinya, penghapusan pidana mati belum menjadi norma hukum yang berlaku umum yang harus diterima oleh masyarakat internasional secara universal.

c.      Dengan memberlakukan pidana mati di Indonesia terhadap kejahatan tidak terdapat kewajiban hukum internasional apa pun yang dilanggar.

Secara yuridis penerapan hukuman mati di Indonesia dibenarkan dan tidak merupakan pelanggaran hak asasi manusia, karena dalam pelaksanaannya kepada terhukum mati melalui ekstra hati hati dan tidak boleh dilakukan dengan sesuka hati, namun harus melalui tahap-tahap yang cukup ketat dan penuh hati-hati sebagaimana yang disebutkan dibawah ini. Pelaku kejahatan tersebut telah memenuhi persyaratan yang ditentukan yaitu:

a.      Berakal, sehat dan telah dewasa.

b.     Ada unsur sengaja kepada pelaku ketika melakukan kejahatan tersebut.

c.     Dalam melakukan kejahatan tersebut, bebas dari pada unsur paksaan.

d.     Hal ini menunjukan bahwa segala perbuatan yang dilakukan karena salah, lupa, dan terpaksa tidak akan dipertanggung jawabkan sebagai perbuatan kejahatan dan merupakan pelanggaran dosa.

e.      Harus terhindar dari masalah-masalah yang meragukan

f.       Telah mendapat keputusan Hakim Pengadilan yang berwibawa.

Berdasarkan Pasal 10 KUHP dapat diketahui bahwa lembaga pidana mati merupakan salah satu hukuman yang masih jelas keberadaannya sebagai bagian dari hukuman pidana yang dijatuhkan. Praktiknya, dalam pelaksanaan pidana mati terjadi pandangan yang pro dan kontra.

Terdapat dua kelompok yang secara komprehensif mengajukan argumentasi, baik yang menentang (abolisionis) maupun yang mendukung (retensionis) hukuman mati.

a.      Kelompok abolisionis mendasarkan argumennya pada beberapa alasan yaitu :

1)    Hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang merendahkan martabat manusia dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Atas dasar argumen inilah kemudian banyak negara menghapuskan hukuman mati dalam sistem peradilan pidananya. Sampai sekarang ini sudah 97 negara menghapuskan hukuman mati. Negara-negara anggota Uni Eropa dilarang menerapkan hukuman mati berdasarkan Pasal 2 Charter of Fundamental Rights of the European Union tahun 2000. Majelis Umum PBB pada tahun 2007, 2008 dan 2010 mengadopsi resolusi tidak mengikat (non-binding resolutions) yang menghimbau moratorium global terhadap hukuman
mati. Protokol Opsional II International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR akhirnya mewajibkan setiap negara mengambil langkah-langkah untuk menghapuskan pidana mati.

2)    Kelompok abolisionis juga menolak alasan kaum retensionis yang meyakini hukuman mati akan menimbulkan efek jera, dan karenanya akan menurunkan tingkat kejahatan khususnya korupsi. Belum ada bukti ilmiah konklusif yang membuktikan korelasi negatif antara hukuman mati dan tingkat korupsi. Sebaliknya, berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi Transparansi Internasional tahun 2011, justru negara-negara yang tidak menerapkan hukuman mati menempati ranking tertinggi sebagai negara yang relatif bersih dari korupsi, yaitu Selandia Baru, Denmark, dan Swedia.

b.     Kelompok retensionis mengajukan argumen yang mendukung hukuman mati. Alasan utama adalah hukuman mati memberikan efek cegah terhadap pejabat publik yang akan melakukan korupsi. Bila menyadari akan dihukum mati, pejabat demikian setidaknya akan berpikir seribu kali untuk melakukan korupsi. Fakta membuktikan, bila dibandingkan dengan negara-negara maju yang tidak menerapkan hukuman mati, Arab Saudi yang memberlakukan hukum Islam dan hukuman mati memiliki tingkat kejahatan yang rendah.

Indonesia adalah salah satu negara retensionis (mendukung) yang secara de yure maupun de facto mengakui adanya pidana mati. Kelompok retensionis di Indonesia berpendapat, hukuman mati terhadap koruptor tidak melanggar konstitusi sebagaimana telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi. Modderman seorang sarjana yang pro pidana mati berpendapat bahwa demi ketertiban umum pidana mati dapat dan harus diterapkan, namun penerapan ini hanya sebagai sasaran terakhir dan harus dilihat sebagai wewenang darurat yang dalam keadaan luar biasa dapat diterapkan.

Pidana mati merupakan hukuman yang terberat dari jenis-jenis ancaman hukuman yang tercantum dalam Kitab UU Hukum Pidana Bab 2 Pasal 10 karena pidana mati merupakan pidana terberat yaitu yang pelaksanaannya berupa perampasan terhadap kehidupan manusia, maka tidaklah heran apabila dalam menentukan hukuman mati terdapat banyak pendapat yang pro dan kontra dikalangan ahli hukum ataupun masyarakat itu sendiri.

Adapun alasan-alasan umum yang diberikan oleh golongan yang menyetujui pidana mati adalah:

a.      Orang-orang berbahaya harus dilenyapkan agar tidak mengganggu dan menghalangi kemajuan masyarakat.

b.     Sebagai Perwujudan pembalasan.

c.      Jika seorang penjahat besar yang dimasukan dalam penjara tidak dibunuh maka ketika ia bebas ia akan mengulangi perbuatan lagi.

d.     Yang tidak dibebaskan akan menimbulkan kesulitan dan kekacaun dalam penjara.

e.      Menakutkan orang lain hingga tidak berani turut berbuat.

Baik yang kontra maupun yang pro, alasan yang diberikannya semua tertumpu pada Hak Asasi Manusia (HAM). Perlu kiranya diuraikan tentang argumentasi bagi keduanya, tentunya dengan tetap mengacu pada hukum nasional. “Hukuman mati tidak dapat dilaksanakan bagi kejahatan yang dilakukan oleh orang dibawah umur 18 tahun dan juga perempuan hamil”.

Menurut The Indonesian Human Rights Watch, terdapat tiga alasan utama mengapa penjatuhan hukuman mati sering kali digunakan oleh pengadilan, antara lain :

a.     Hasil penerapan ancaman hukuman mati digunakan oleh rezim colonial Belanda, kemudian dalam prakteknya terus digunakan sampai rezim orde baru untuk memberikan rasa takut bahkan menghabiskan lwan politik. Hal ini dapat dilihat pada penerapan kejahatan politik
Pasal 104 KUHP.

b.     Upaya menerbitkan beberapa katentuan hukum baru yang mencantumkan ancaman pidana mati sebagai langkah kopensasi politik akibat ketidakmampuan membenahi sistem hukum yang korup. Padahal ancaman pidana mati tidak pernah bisa membuktikan efektifitasnya mengurangi angka kejahatan termasuk narkotika.

c.     Meningkatnya angka kejahatan dilihat semata sebagai tanggung jawab
individu pelaku.

Keputusan Presiden menolak grasi dari terpidana mati menjadi dasar dan bagian dari proses hukuman eksekusi hukuman mati. Konsistensi hukuman mati dalam kasus narkoba diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara No. 2/PUU-V/2007 dan Perkara No. 3/PUU-V/2007 perihal pengujian UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang menolak permohonan untuk membatalkan hukuman mati. Dukungan terhadap hukuman mati karena dapat menimbulkan efek jera bagi pengedar nasional dan internasional. Hukuman mati ini sangat relevan dengan situasi darurat narkotika saat ini, meskipun masih ada perdebatan.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 terkait pengujian konstitusionalitas hukuman mati yang dijatuhkan pada 30 Oktober 2007, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan UUD 1945, namun dalam kesimpulan akhirnya Mahkamah Konstitusi berpendapat agar di masa mendatang dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional, beberapa hal harus sungguh-sungguh menjadi perhatian, yaitu:

a.     Pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif;

b.     Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun;

c.     Pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa;

d.     Eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sembuh.

Putusan Mahkamah Konstitusi telah dijelaskan bahwa penerapan sanksi pidana mati bagi para pelaku tindak pidana narkotika tidak melanggar hak asasi manusia, akan tetapi justru pelaku tersebut telah melanggar hak asasi manusia lain, yang memberikan dampak terhadap kehancuran generasi muda yang akan datang.Pelaksanaan pidana mati tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 karena “ hak setiap orang untuk hidup” sebagaimana tertera dalam Pasal 28 a dan 28 i ayat (1) harus dibaca dan ditafsirkan dalam kesatuan dengan Pasal 28 j ayat (2) yaitu dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dalam UU dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.

 

UU Nomor 1 Tahun 2023 Tentang KUHP

Ada pergeseran paradigma dalam Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) baru terlihat dari sejumlah pasal-pasalnya. Salah satunya soal pengaturan hukuman mati yang berbeda pengaturannya sebagaimana tertuang dalam KUHP sebelumnya yang berlaku selama ini. Ketentuan tentang hukuman mati dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 Tentang KUHP yang disahkan pada 6 Desember 2022 terdapat beberapa perubahan penting terutama pembaharuan yaitu hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun.

UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) yang baru menempatkan pidana mati dalam rumusan sebagai pidana pokok yang bersifat khusus dan diancamkan secara alternatif, dicantumkannya pidana mati dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus, sebagaimana ditegaskan Pasal 63 bahwa “pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif”, jika dibandingkan dengan jenis pidana yang lain, pidana mati merupakan jenis pidana yang paling berat. Pidana mati ini harus selalu diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana lainnya, yakni pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pidana mati dapat dijatuhkan pula secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan.

KUHP baru menentukan bahwa pelaksanaan hukuman mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan syarat-syarat tertentu, yaitu :

1.     Reaksi masyarakat tidak terlalu besar;

2.     Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki;

3.     Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting;

4.     Ada alasan yang meringankan.

Ada dua hal yang diperhatikan untuk dapat mengubah pidana mati menjadi seumur hidup sebagaimana tercantum dalam Pasal 100 ayat (1) KUHP:

1.     Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan:

a.     Rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri;

b.     Peran terdakwa dalam Tindak Pidana.

Apabila selama masa percobaan terpidana tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung. Secara lengkap begini isi Pasal 100 dan Pasal 101 KUHP baru yang memuat mengenai aturan hukuman mati:

Pasal 100 KUHP:

(1)   Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan:

a.     Rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri;

b.     Peran terdakwa dalam Tindak Pidana.

(2)   Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.

(3)   Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) Hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

(4)   Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.

(5)   Pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak Keputusan Presiden ditetapkan.

(6)   Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.

Pasal 101: Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama l0 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden.

Berdasarkan KUHP yang baru, maka pada hakikatnya, jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, sementara jika terpidana selama masa percobaan tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung, dengan ketentuan ini, terdapat kemungkinan bagi hakim untuk menjatuhkan pidana mati bersyarat, jika dibandingkan dengan ketentuan mengenai hukuman mati dalam KUHP sekarang ini, pengaturan tentang hukuman mati dalam KHUP baru memang terlihat lebih rinci dan lengkap.

Dikeluarkannya pidana mati dari posisi pidana pokok didasarkan pada pertimbangan bahwa, dilihat dari tujuan pemidanaan, pidana mati pada hakikatnya bukan sarana utama untuk mengatur, menertibkan dan memperbaiki individu dan atau masyarakat, pidana mati hanya merupakan sarana terakhir dan sebagai pengecualian untuk mengayomi masyarakat, jadi penulis berkesimpulan bahwa pertimbangan tersebut lebih menekankan perlunya hukuman mati dipertahankan dalam hukum pidana sebagai instrument untuk mencegah dan melindungi masyarakat dari penjahat yang sangat membahayakan serta mengancam nyawa dan jiwa manusia, sehingga keberlangsungan hidup manusia dapat terjamin.

Berdasarkan Pasal 100 KUHP, maka seseorang yang menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji selama masa percobaan tersebut, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup yakni, dengan Keputusan Presiden (Keppres) setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung (MA). Menurut Pasal 100 ayat 5 KUHP bahwa pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak Keputusan Presiden ditetapkan. "Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung (Pasal 100 ayat (6) KUHP).

Menurut KUHP yang baru pidana mati dijatuhkan pengadilan terhadap terdakwa yang diancam sanksi hukuman mati secara alternatif dengan masa percobaan selama 10 tahun. Masa percobaan satu dasawarsa itu menjadi pertimbangan dengan harapan adanya perubahan perilaku serta kehidupannya dan penyesalan dari terpidana. Dengan begitu, pidana mati tidak perlu dilaksanakan dan dapat diganti atau dikonversi dengan pidana penjara seumur hidup.

Sejak awal pembentuk KUHP baru menyepakati pidana mati tidak terdapat dalam stelsel pidana pokok tetapi ditentukan dalam pasal tersendiri agar menunjukan jenis pidana mati bersifat khusus sebagai upaya terakhir. Karenanya, hukuman mati menjadi pidana paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.

Membahas pidana mati perlulah sekiranya untuk membandingkan antara KUHP lama dan KUHP baru. Meskipun telah disahkan, KUHP baru bisa diberlakukan saat tahun 2026 sehingga KUHP lama masih berlaku.

Apabila dibandingkan KUHP yang lama dengan KUHP baru, maka diketahui bahwa KUHP lama meletakan pidana mati sebagai pidana pokok dan merupakan sanksi pidana tertinggi. Pengaturan mengenai Pidana mati diatur dalam Undang- Undang No. 02/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati dalam Lingkungan Pengadilan Umum dan Militer adalah dilakukan dengan cara ditembak sampai mati. Adapun penentuan waktu dan tempat dilaksanakannya pidana mati dilakukan berdasarkan ketentuan hakim. UU ini merupakan pengaturan terbaru mengenai pidana mati dalam KUHP lama. Hal ini dikarenakan pada Pasal 11 KUHP, pidana mati dilakukan dengan cara digantung
yang dirasa tidak relevan dengan saat ini.

 

Hukum Islam

Kajian terhadap penerapan pidana mati di Indonesia ditinjau dari maqashid al-shari’ah. Mengacu pada tujuan utama syariah yang bertujuan untuk memelihara lima hal mendasar: agama (din), jiwa (nafs), akal (aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Dalam konteks penerapan pidana mati, berikut adalah penjelasan dari masing-masing tujuan tersebut:

Memelihara Agama (Hifz al-Din), Dalam syariah, menjaga agama adalah salah satu tujuan utama. Hukuman mati dapat diterapkan dalam kasus murtad (apostasy) jika dianggap membahayakan agama dan menyebabkan kerusakan besar pada komunitas Muslim. Namun, penerapan ini harus sangat hati-hati dan melalui proses yang adil.
Memelihara Jiwa (Hifz al-Nafs), Memelihara jiwa adalah inti dari syariah, dan pidana mati dapat diterapkan dalam kasus pembunuhan (qisas) untuk memberikan keadilan kepada keluarga korban dan mencegah kejahatan serupa di masa depan. Prinsip qisas dalam Islam adalah bahwa keluarga korban dapat memilih untuk menuntut hukuman mati atau memberikan pengampunan dengan menerima diyat (kompensasi).
Memelihara Akal (Hifz al-Aql), Memelihara akal berarti menjaga integritas dan kesejahteraan mental masyarakat. Dalam beberapa kasus ekstrem yang dapat merusak akal atau kesejahteraan mental masyarakat luas, hukuman mati dapat dipertimbangkan sebagai upaya untuk menjaga ketertiban umum dan moralitas masyarakat.
Memelihara Keturunan (Hifz al-Nasl), Memelihara keturunan mengacu pada perlindungan keluarga dan generasi mendatang. Hukuman mati dapat diterapkan dalam kasus-kasus serius seperti pemerkosaan atau kekerasan seksual yang mengancam integritas keluarga dan keturunan. Namun, penerapan ini harus sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan.
Memelihara Harta (Hifz al-Mal), Memelihara harta berarti melindungi properti dan ekonomi individu serta masyarakat. Hukuman mati tidak umum diterapkan dalam kasus yang hanya melibatkan pelanggaran terhadap harta, tetapi dapat dipertimbangkan dalam kasus kejahatan berat yang melibatkan perampokan dengan kekerasan atau korupsi besar yang mengancam stabilitas ekonomi negara.

Ketentuan Batasan dalam Hukum Islam Berdasarkan Maqasid al-Shariah:

1.      Keberadaan Bukti yang Kuat dan Saksi yang Adil

2.      Kesempatan untuk Taubat dan Pengampunan

3.      Konsistensi dengan Prinsip Keadilan (Al-Adl)

4.      Pengadilan yang Adil dan Transparan (Syariah)

 

 

0 comments