Membangun Citra di Era Digital: Personal Branding vs Personifikasi Media Sosial


Di era digital yang semakin berkembang, citra diri dan organisasi menjadi hal yang semakin penting. Dua pendekatan yang sering digunakan untuk membangun dan mempertahankan citra ini adalah personal branding dan personifikasi media sosial instansi. Meski keduanya terlihat mirip, ada perbedaan mendasar yang membuat keduanya unik.

Personal branding adalah cara seseorang membentuk dan mempromosikan citra dirinya di mata publik. Dengan personal branding, seseorang berusaha untuk dikenal dengan keahlian, nilai, atau kepribadian tertentu yang membuatnya menonjol di antara orang lain. Misalnya, seorang pengusaha bisa membangun personal branding sebagai inovator yang selalu menghasilkan ide-ide segar dan relevan.

Di sisi lain, personifikasi media sosial instansi adalah strategi yang digunakan organisasi untuk memberikan “kepribadian” pada mereknya di media sosial. Tujuannya adalah untuk membuat instansi tersebut lebih relatable dan menarik di mata audiens. 

Meskipun sasaran dari personal branding dan personifikasi media sosial instansi berbeda, keduanya memiliki kesamaan dalam hal membangun identitas yang kuat. Baik individu maupun instansi perlu konsisten dalam menyampaikan pesan mereka di berbagai platform agar audiens memiliki persepsi yang jelas tentang siapa mereka.

Namun, perbedaan utamanya terletak pada subjek yang dibangun citranya. Personal branding berfokus pada individu dan biasanya bertujuan untuk meningkatkan karier atau reputasi pribadi. Sedangkan personifikasi media sosial instansi berfokus pada membangun citra organisasi, dengan tujuan akhir untuk meningkatkan kepercayaan dan loyalitas publik.

Personal branding memiliki kekuatan dalam memberikan keunikan dan keunggulan kompetitif bagi individu. Seseorang yang berhasil membangun personal branding yang kuat akan lebih mudah dikenal dan diingat oleh orang lain. Namun, ini juga bisa menjadi pedang bermata dua. Personal branding membutuhkan upaya yang berkelanjutan dan konsistensi, dan bisa menciptakan tekanan untuk selalu tampil sempurna di mata publik.

Personifikasi media sosial instansi memungkinkan organisasi untuk lebih dekat dengan audiensnya. Dengan pendekatan yang lebih humanis, instansi dapat membangun hubungan yang lebih kuat dan mendapatkan kepercayaan publik. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, personifikasi ini bisa tampak tidak otentik atau malah merusak citra organisasi.

Personifikasi media sosial instansi dalam arti yang salah merujuk pada situasi di mana akun media sosial resmi suatu instansi atau lembaga digunakan dengan cara yang terlalu personal atau tidak sesuai dengan identitas institusional. Contohnya fokus berlebihan pada individu tertentu, alih-alih mempromosikan kebijakan atau program instansi, akun media sosial terlalu fokus pada sosok atau pejabat tertentu, seolah-olah akun tersebut adalah akun pribadi orang tersebut. Ini bisa menciptakan kesan bahwa instansi terlalu bergantung pada satu individu, yang bisa mengaburkan peran institusionalnya.

Bagi individu, personal branding yang kuat dapat membuka banyak peluang karier, memperluas jaringan, dan memperkuat posisinya. Namun, risiko seperti stres akibat tekanan untuk selalu mempertahankan citra bisa muncul.

Sementara itu, bagi organisasi, personifikasi media sosial yang efektif bisa meningkatkan engagement, memperkuat citra merek, dan meningkatkan loyalitas pengguna. Namun, kesalahan dalam komunikasi bisa berdampak buruk dan merusak reputasi yang telah dibangun dengan susah payah.

 

Contoh Implementasi Pengelolaannya

Di era digital yang semakin maju, keberadaan penyuluh agama Islam menghadapi tantangan dan peluang baru. Dalam kajian pengembangan program penyuluhan, eksistensi penyuluh agama Islam menjadi salah satu yang harus dibangun untuk mengenalkan profesi ini secara luas kepada masyarakat. Melalui program optimalisasi media sosial sebagai sarana bimbingan dan penyuluhan, diharapkan mampu meningkatkan eksistensi penyuluh dan menjaring lebih banyak sasaran. Upaya ini sudah dilakukan sejak 3 tahun terkahir.

Saat ini, jika kita berselancar dengan kata Penyuluh Agama, setidaknya kita akan menemui media sosial mereka dengan 5 klasifikasi berikut. 

  1. Media personal penyuluh
  2. Media penyuluhan tematik
  3. Media grup penyuluh
  4. Media organisasi profesi penyuluh
  5. Media instansi pembina penyuluh

Lantas, setelah lahir banyak media sosial, bagaimana cara menguatkan citra diri dengan tepat di masing-masing media ini?

Mari kita bahas strategi penguatan citra diri yang bisa diterapkan pada lima klasifikasi media kepenyuluhan yang sering ditemui.

1. Menampilkan Kepribadian pada Media Personal Penyuluh

Media personal adalah platform di mana penyuluh bisa benar-benar menampilkan diri mereka. Di sini, personal branding menjadi kunci. Menonjolkan keunikan, keahlian, dan nilai-nilai pribadi yang dimiliki akan membuat penyuluh lebih mudah diingat dan dihargai oleh audiens.

Namun, ingatlah bahwa konsistensi adalah segalanya. Cobalah untuk menciptakan narasi dan visual yang khas dan mudah dikenali. Misalnya, jika seorang penyuluh terkenal karena pendekatan yang ramah dan inklusif, hal ini harus tercermin dalam setiap postingan, baik itu melalui tulisan, gambar, maupun video. Selain itu, berikan ruang bagi audiens untuk berinteraksi langsung—sesi tanya jawab, live streaming, atau berbagi kisah pribadi bisa menjadi cara yang efektif untuk membangun kedekatan.

2. Fokus pada Keunikan dalam Pengelolaan Media Penyuluhan Tematik

Media penyuluhan tematik adalah tempat di mana konten berbasis tema tertentu dikembangkan. Dalam hal ini, keunikan tema yang diangkat harus menjadi identitas utama. Fokuslah pada penyajian konten yang mendalam dan relevan dengan tema tersebut.

Untuk meningkatkan kredibilitas, libatkan pakar atau tokoh agama yang memiliki reputasi baik dalam tema yang dibahas. Kolaborasi semacam ini tidak hanya menambah bobot konten, tetapi juga memperluas jangkauan audiens. Jangan lupa, kampanye khusus yang melibatkan audiens dalam diskusi atau aksi terkait tema juga bisa meningkatkan engagement secara signifikan.

3. Penguatan Kolaboratif pada Media Sosial Grup Penyuluh

Media grup penyuluh adalah contoh sempurna di mana kekuatan kolektif bisa bersinar. Di sini, personal branding juga penting, tetapi dalam konteks kolaboratif. Setiap anggota grup harus menunjukkan keahlian unik mereka, namun tetap dalam kerangka kerja sama yang sinergis.

Bayangkan konten yang dihasilkan oleh sekelompok penyuluh yang bekerja bersama-sama—webinar, diskusi panel, atau seri konten kolaboratif. Ini tidak hanya menunjukkan keragaman keahlian, tetapi juga membangun citra grup sebagai tim yang solid dan profesional. Pastikan juga bahwa branding visual grup konsisten, menciptakan kesan yang terorganisir dan terpercaya.

4. Membangun Citra Profesionalisme pada Media Organisasi Profesi Penyuluh

Dalam konteks organisasi profesi penyuluh, citra yang harus ditampilkan adalah profesionalisme dan komitmen terhadap misi kolektif. Personifikasi di sini harus berfokus pada nilai-nilai organisasi, bukan individu tertentu.

Penting untuk secara rutin mempublikasikan kegiatan organisasi dan prestasi para anggotanya. Ini menunjukkan bahwa organisasi tersebut aktif, relevan, dan memberikan kontribusi nyata dalam dunia kepenyuluhan. Dengan begitu, audiens akan melihat organisasi sebagai wadah profesional yang kredibel dan layak dihormati. 

5. Media Informatif yang Berfokus pada Tusi dalam Pengelolaan Media Instansi Pembina Penyuluh

Terakhir, untuk media instansi pembina, pendekatan yang digunakan haruslah sangat profesional. Personifikasi di sini bukanlah tentang individu, tetapi tentang tugas dan fungsi (tusi) instansi tersebut. Konten yang disampaikan harus selalu jelas, informatif, dan berorientasi pada kebijakan serta program yang relevan.

Transparansi dan akuntabilitas menjadi dua pilar penting dalam membangun citra instansi. Dengan menampilkan pengelolaan program yang transparan dan pelaksanaan kebijakan yang akuntabel, instansi dapat memperkuat kepercayaan publik dan menjaga kredibilitasnya.

Menguatkan citra diri di era digital memang memerlukan strategi yang tepat untuk setiap jenis media. Baik itu media personal, grup, atau instansi, setiap platform memiliki karakteristik dan audiens yang berbeda, yang memerlukan pendekatan khusus. 

Ingatlah, citra bukan hanya tentang bagaimana kita ingin dilihat, tetapi juga tentang bagaimana kita menampilkan nilai-nilai yang kita junjung tinggi di setiap interaksi digital. Dengan pendekatan yang tepat, citra yang kuat dan positif dapat dibangun, tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk organisasi dan profesi yang kita wakili.

------

Tulisan ini sebagai respon hasil FGD Pengelolaan Media Sosial yang diikuti Penulis

0 comments