Pertanyaan!
Uraikan dan jelaskan UU CIPTA KERJA dalam perspektif politik hukum!
Ruang
Lingkup Politik Hukum
Ruang lingkup politik hukum mencakup
berbagai tahapan dan proses untuk memastikan bahwa kebijakan hukum yang
dihasilkan sesuai dengan nilai-nilai dan aspirasi masyarakat. Proses ini
meliputi, penggalian nilai-nilai dan aspirasi masyarakat untuk memahami dasar
pembentukan kebijakan; artikulasi nilai-nilai dan aspirasi tersebut ke dalam
kebijakan hukum konkret; perumusan dan pengesahan kebijakan hukum menjadi
peraturan perundang-undangan yang sah; sosialisasi kebijakan hukum yang telah
disahkan kepada masyarakat; pelaksanaan kebijakan hukum dalam praktik
sehari-hari oleh aparatur negara dan masyarakat; evaluasi efektivitas dan
dampak dari kebijakan hukum yang telah diterapkan; serta perubahan atau
penyesuaian kebijakan hukum sesuai dengan perkembangan situasi dan kebutuhan.
Seputar
UU Cipta Kerja
UU Cipta Kerja
(Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020) merupakan salah satu produk legislasi yang
bertujuan untuk meningkatkan investasi dan menciptakan lapangan kerja di
Indonesia melalui penyederhanaan regulasi. UU ini disusun menggunakan metode
omnibus law, yang mencakup perubahan pada berbagai sektor seperti
ketenagakerjaan, investasi, dan lingkungan hidup. Beberapa tujuan utama dari UU
Cipta Kerja adalah:
a.
Meningkatkan Investasi: Dengan mengurangi hambatan regulasi dan
mempercepat proses perizinan.
b.
Menciptakan Lapangan Kerja: Dengan harapan bahwa peningkatan investasi
akan menciptakan lebih banyak peluang pekerjaan.
c.
Menyederhanakan Regulasi: Mengurangi tumpang tindih peraturan dan
memperbaiki iklim bisnis di Indonesia
Kontroversi
UU Cipta Kerja
UU Cipta Kerja menimbulkan berbagai kontroversi dan kritik, antara lain:
a.
Minimnya Partisipasi Publik
Proses penyusunan dan pengesahan UU Cipta Kerja dilakukan dalam waktu
yang relatif singkat dan tergesa-gesa. Banyak pihak mengkritik bahwa pembahasan
dilakukan tanpa melibatkan partisipasi publik yang memadai, terutama dari
kelompok-kelompok yang terdampak langsung seperti serikat pekerja dan
masyarakat sipil. Proses ini tidak sepenuhnya transparan, yang menimbulkan
kecurigaan bahwa kepentingan publik tidak diutamakan dalam pembentukan
undang-undang.
b. Dampak Terhadap Pekerja
Klaster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja mengubah banyak pasal dalam
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perubahan ini termasuk
fleksibilitas dalam pemutusan hubungan kerja, pengurangan pesangon, dan
pengaturan upah minimum yang lebih fleksibel. Banyak pekerja dan serikat buruh
menilai bahwa perubahan ini merugikan mereka karena mengurangi perlindungan
yang sebelumnya diberikan oleh undang-undang ketenagakerjaan yang ada. Pekerja dan serikat buruh melakukan berbagai aksi protes dan
demonstrasi menolak UU Cipta Kerja. Mereka merasa bahwa UU ini lebih
menguntungkan pengusaha dan investor daripada melindungi hak-hak pekerja.
Penolakan ini menunjukkan adanya ketidakpuasan yang mendalam dari kalangan
pekerja terhadap kebijakan tersebut.
c.
Dampak
Lingkungan
Kritik
lain terhadap UU Cipta Kerja adalah penyederhanaan izin lingkungan yang
dianggap dapat memperburuk kualitas lingkungan hidup. UU ini mempermudah proses
perizinan lingkungan, yang menurut para kritikus, dapat mengurangi pengawasan
dan kontrol terhadap kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan. Ini
menimbulkan kekhawatiran bahwa degradasi lingkungan akan meningkat karena
pengawasan yang kurang ketat. UU Cipta Kerja juga dinilai lebih mengutamakan
kepentingan ekonomi dan investasi daripada perlindungan lingkungan. Ini
terlihat dari berbagai ketentuan yang memudahkan proses bisnis dan investasi,
tetapi berpotensi mengabaikan aspek-aspek penting dalam perlindungan lingkungan
hidup.
d. Isu Legal dan Konstitusional
Metode
omnibus law yang digunakan dalam pembentukan UU Cipta Kerja juga menuai kritik.
Beberapa pihak berpendapat bahwa metode ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan benar. Ada kekhawatiran
bahwa metode ini dapat mengakibatkan inkonsistensi dan ketidakjelasan dalam
implementasi hukum. Berbagai elemen masyarakat, termasuk organisasi
non-pemerintah dan akademisi, telah mengajukan gugatan hukum terhadap UU Cipta
Kerja. Mereka menilai bahwa proses pembentukannya cacat secara prosedural dan
substantif, serta bertentangan dengan konstitusi.
Analisa
Politik Hukum UU Cipta Kerja
UU Cipta Kerja, yang diinisiasi oleh
pemerintah Indonesia dan disahkan pada tahun 2020, merupakan sebuah upaya
ambisius untuk menyederhanakan regulasi dan meningkatkan investasi.
Undang-undang ini diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja baru dan
memperbaiki iklim bisnis di Indonesia. Namun, proses pembentukan dan
implementasinya menimbulkan berbagai kontroversi dan kritik. Dalam subbab ini,
akan dibahas bagaimana UU Cipta Kerja memenuhi (atau tidak memenuhi) setiap
tahap dalam ruang lingkup politik hukum, dari penggalian nilai-nilai dan
aspirasi masyarakat hingga proses evaluasi dan perubahan kebijakan.
UU Cipta Kerja banyak dikritik karena kurang
melibatkan masyarakat luas dalam proses penggalian nilai-nilai dan aspirasi.
Proses ini dinilai terburu-buru dan tidak memberikan cukup waktu bagi berbagai
kelompok masyarakat untuk memberikan masukan. Nilai-nilai dan aspirasi yang
diartikulasikan dalam UU Cipta Kerja cenderung lebih berfokus pada kepentingan
investasi dan ekonomi. Aspirasi dari kalangan pekerja dan pemerhati lingkungan
kurang terakomodasi, sehingga muncul kritik bahwa undang-undang ini lebih menguntungkan
pemodal daripada masyarakat luas. Proses perumusan dan pengesahan UU Cipta
Kerja berjalan cepat dan kurang transparan. Banyak pihak mengkritik bahwa
proses ini tidak memenuhi standar keterbukaan dan partisipasi publik yang
seharusnya. Proses ini menimbulkan kecurigaan bahwa kepentingan elit lebih
dominan daripada kepentingan umum.
Setelah disahkan, sosialisasi UU Cipta Kerja
kepada masyarakat tidak berjalan dengan optimal. Banyak masyarakat yang belum
memahami isi dan implikasi dari undang-undang ini, yang menyebabkan kebingungan
dan penolakan di berbagai kalangan. Pelaksanaan UU Cipta Kerja masih menghadapi
berbagai tantangan, terutama terkait dengan kesiapan aparatur negara dan
masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan perubahan regulasi. Implementasi
undang-undang ini memerlukan koordinasi yang baik antar berbagai pihak untuk
memastikan bahwa tujuannya tercapai. Evaluasi terhadap efektivitas dan dampak
UU Cipta Kerja masih belum dilakukan secara menyeluruh. Kritik dan masukan dari
masyarakat perlu diperhatikan untuk menilai sejauh mana undang-undang ini
berhasil mencapai tujuan-tujuannya tanpa mengorbankan kepentingan pekerja dan
lingkungan. Proses perubahan atau penyesuaian UU Cipta Kerja harus dilakukan
jika ditemukan bahwa undang-undang ini tidak efektif atau merugikan pihak
tertentu. Revisi dan penyesuaian perlu dilakukan secara transparan dengan
melibatkan partisipasi publik yang lebih luas untuk memastikan bahwa perubahan
yang dilakukan benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Dalam analisa politik
hukum, penting untuk melihat apakah ada kepentingan-kepentingan elit yang
mempengaruhi pembentukan suatu undang-undang. Jika ditelaah lebih lanjut, beberapa
indikator menunjukkan adanya pengaruh kepentingan elit dalam pembentukan UU
Cipta Kerja, sehingga memicu beberapa indikator politik hukum yang menyimpang
sebagai berikut:
a.
Keinginan Politik (Political Will): Inisiasi UU Cipta Kerja datang dari
Presiden Joko Widodo dengan tujuan untuk menyederhanakan regulasi dan menarik
investasi. Proses ini menunjukkan adanya dorongan kuat dari eksekutif untuk
mengimplementasikan kebijakan ini.
b. Dukungan Lembaga Keuangan Internasional:
Dukungan dari Bank Dunia terhadap UU Cipta Kerja menunjukkan adanya dorongan
dari lembaga keuangan internasional yang biasanya memiliki kepentingan dalam
menciptakan iklim investasi yang kondusif di negara-negara berkembang.
c.
Minimnya
Partisipasi Publik: Kurangnya partisipasi publik dan konsultasi dengan pekerja
menunjukkan bahwa pembentukan UU ini lebih mengutamakan kepentingan pemodal dan
investor dibandingkan dengan perlindungan hak-hak pekerja dan lingkungan hidup.
Pengaruh kepentingan
elit ini berkontribusi pada kontroversi yang melingkupi UU Cipta Kerja karena
proses politik hukum yang tidak sesuai dengan koridor idealnya, yaitu
melibatkan aspirasi dan kepentingan seluruh lapisan masyarakat.
Untuk memastikan bahwa
UU Cipta Kerja memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi masyarakat,
beberapa rekomendasi berikut dapat dipertimbangkan:
a.
Meningkatkan Partisipasi Publik: Proses pembentukan undang-undang harus
melibatkan partisipasi publik yang lebih luas, terutama dari kelompok-kelompok
yang terdampak langsung seperti pekerja dan masyarakat sipil. Hal ini dapat
dilakukan melalui konsultasi publik yang transparan dan inklusif.
b. Pengawasan Ketat Terhadap
Implementasi: DPR RI dan lembaga pengawasan lainnya harus memastikan bahwa
implementasi UU Cipta Kerja berjalan sesuai dengan tujuan awalnya tanpa
mengorbankan perlindungan hak-hak pekerja dan lingkungan. Pengawasan ini harus
mencakup penilaian berkala terhadap dampak undang-undang tersebut.
c.
Revisi Terhadap Ketentuan yang Merugikan Pekerja dan Lingkungan:
Ketentuan dalam UU Cipta Kerja yang dianggap merugikan pekerja dan lingkungan
harus ditinjau ulang dan direvisi. Ini termasuk pasal-pasal yang mengurangi
perlindungan bagi pekerja dan mempermudah izin lingkungan tanpa pengawasan yang
memadai.
d. Penguatan Regulasi
Lingkungan: Meskipun tujuan utama UU Cipta Kerja adalah meningkatkan investasi,
perlindungan lingkungan harus tetap menjadi prioritas. Pemerintah perlu
memastikan bahwa penyederhanaan regulasi tidak mengorbankan kualitas lingkungan
hidup.
e. Pendidikan dan Sosialisasi: Masyarakat perlu diberikan edukasi yang memadai mengenai isi dan implikasi UU Cipta Kerja. Sosialisasi yang efektif akan membantu masyarakat memahami hak-hak mereka dan bagaimana undang-undang ini mempengaruhi kehidupan mereka sehari-hari.
***
0 comments