Panic Buying, Dampak Pandemi Covid-19 dalam Tinjauan Hukum Islam

Ilustrasi Belanja Sewarjarnya/liawardahna - canva.com form free download picture


Pandemi Covid-19 melanda dunia. Banyak negara terpapar virus corona, salah satu diantaranya Indonesia. Presiden Joko Widodo mengumumkan 2 orang Indonesia positif Covid 19 pada tanggal 2 Maret 2020. Presiden menyebut dua warga negara Indonesia (WNI) tersebut terpapar virus corona sebab sempat berkontak dengan seorang warga negara (WN) Jepang yang positif Virus Corona

Sejak pengumuman tersebut, tak ada lagi perasaan tenang. Masyarakat dilanda cemas berlebihan. Khawatir jika pandemi ini menjangkiti dirinya maupun keluarga mereka. Di Indonesia, kasus positif corona terus melonjak. Data Indonesia pada tanggal 9 April 2020 menyebut, jumlah yang sudah terinfeksi virus yang berasal dari Wuhan, China itu mencapai 3.293 jiwa

Akibat ketakutan yang luar biasa, seseorang lebih mudah diserang panik. Salah satu kepanikan yang terjadi dalam ekonomi adalah reaksi panic buying.

Yap, Masyarakat jadi ramai-ramai memborong kebutuhan pangan dan kesehatan seperti masker, cairan pembersih tangan atau hand sanitizer, bahkan sampai alat pengukur suhu tubuh.

Alasan kepanikannya bermacam-macam. Sebagian masyarakat khawatir jika tidak belanja sekarang, maka esok hari barangnya sudah tidak ada. Jika barang menjadi langka, bisa saja harga barang menjadi lebih tinggi.

Pemikiran masyarakat memang sudah pas, seperti paham ilmu ekonomi. Sebagaimana hukum permintaan dan penawaran dalam ekonomi berlaku yaitu: jika terjadi permintaan tinggi karena tidak jumlah barang yang sedikit, maka harga barang akan semakin mahal. 

Namun kehawatiran mereka meninggalkan garis bawah pada hukum permintaan ini,  yaitu sisi permintaan itu sendiri. Mereka tidak sadar, bahwa dirinya turut menjadi penyebab membengkaknya permintaan suatu barang. Akibatnya adalah terjadi kelangkaan barang yang disebabkan ketidakseimbangan antara demand dengan supply

Bagaimana Panic Buying dalam Tinjauan Islam?


Kegiatan panic Buying yang dilakukan dalam Islam dapat disebut dengan Isyraf. Isyraf secara bahasa berarti berlebih-lebihan. Secara istilah yaitu melakukan suatu pekerjaan dengan berlebih-lebihan yang seharusnya cukup biasa saja (tidak perlu berlebihan), melebihi kadar kecukupan.

Contoh lain yang sering terjadi, berlebihan dalam makan, padahal sudah kenyang tapi tetap aja makan.

Nah, Orang yang biasa melakukan pekerjaan isyraf ini biasanya memiliki sifat rakus dan tidak mau berbagi. Dan perbuatan ini dilarang bahkan tidak disukai oleh Allah sebagaimana firman-Nya dalam Qur’an Surat Al-A’raf Ayat 31.

 يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ  

Artinya : Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.  (QS. Al-A’raf : 31)

Maka sudah jelas, salah satu sifat yeng tercela yang dilarang oleh syari’at, yaitu berlebih-lebihan. Berlebih-lebihan adalah suatu perbuatan yang melampaui batas yang dilakukan oleh manusia. Terkadang walaupun kita sebagai umat yang beragama, jika berbicara konsumsi ataupun mengkonsumsi segala sesuatu yang telah Allah berikan kepada kita masih saja kita selalu bersikap berlebih-lebihan.
Beberapa hadits mengatur tentang larangan berlebih-lebihan
Dari Ibnu Mas’ud Nabi SAW. Bersabda “Binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan.”,tiga kali Rasulullah menyebutkan hadist ini baik sebagai berita tentang kehancuran mereka ataupun sebagai do’a kehancuran bagi mereka. (HR.Muslim)
Dalam sabda nabi ini, sudah begitu jelas bahwasanya beliau sangat tidak menyukai orang-orang yang bersikap berlebih-lebihan dan bahkan beliau memberitakan tentang kehancuran untuk orang-orang tersebut. Dalam hadist lain juga mengatakan, Sabda Nabi SAW. Dari Ibnu Abbas “jauhkanlah dari kamu dari berlebih-lebihan dalam agama karena orang-orang sebelum kami hancur hanya karena sebab berlebih-lebihan dalam agama”.
Dari Amr Bin Syuaib dari ayahnya dari Kakeknya berkata, Rasulullah SAW. Bersabda:” makan dan minumlah, bersedekahlah serta berpakaianlah dengan tidak berlebihan dan tdak sombong.” (HR.Nasa’i)


Lantas Bagaimana Sikap yang Seharusnya Kita Tanamkan?


Untuk menyikapinya, hal pertama yang perlu kita lakukan adalah berbelanja sewajarnya. Kemudian untuk menjauhkan diri dari kepanikan, kita harus menanamkan sikap tawakkal. 
Tawakkaltu Alallah atau berserah diri kepada Allah. 

Imam Ghazali mendefinisikan tawakkal sebagai berikut, "Tawakkal adalah menyandarkan kepada Allah SWT ketika menghadapu suatu kepentingan, bersandar kepadaNya dalam waktu kesukaran, teguh hari ketika ditimpa bencana disertai jiwa tang tenang dan hati yang tenteram."

Meneguhkan sikap tawakkal artinya kita membangun mental dengan keyakinan yang bulat kepada Allah SWT. Dalam Tauhid pun kita diajarkan untuk menyakini bahwa hanya Allah SWT yang menciptakan segala-galanya, pengetahuan-Nya Maha Luas, Dia yang menguasai dan mengatur alam semesta ini. 

Melalui keyakinan inilah kita mampu menyerahkan segala persoalan kepada Allah, sehingga mampu membawa ketenangan dan ketenteraman hati serta tidak ada rasa takut maupun kecurigaan lainnya dengan keyakinan Allah SWT Maha Tahu dan Maha Bijaksana.

Wallahu a'lam, 
Wal afwu minkum,

0 komentar